[ Klik di sini untuk lihat galeri foto ] “Matinya Sang Maestro” ini berkisah tentang kehidupan seorang maestro kesenian yang nasibnya miskin dan terlupakan hingga datang Surat Keputusan (SK) yang menyatakan pemerintah akan memberinya hadiah uang 10 miliar karena jasa-jasanya selama hidup. Kalimat itu menimbulkan masalah tafsir karena para pejabat menganggap uang hadiah itu hanya bisa diberikan setelah sang maestro mati, padahal ia masih hidup. Inilah yang kemudian menimbulkan kelucuan-kelucuan sekaligus kegetiran.
Berita soal hadiah 10 miliar itu juga menimbulkan kehebohan. Banyak yang kemudian menjadi begitu baik pada sang maestro, tapi diam-diam sesungguhnya berharap agar nanti mendapatkan bagian warisan. Semua ingin uang 10 miliar itu cepat cair, misalnya dengan cara agar sang maestro itu pura-pura sakit agar uangnya juga bisa cair separuhnya. Begitulah, sang maestro kini dibutuhkan, diperhatikan, sekaligus diingikan kematiannya.
Pementasan yang berdurasi 2 jam ini diramaikan dengan para maestro di dunia kesenian, seperti Kartolo, Didik Nini Thowok dan Marwoto. Selain itu, Djaduk Ferianto, Sruti Respati, Sapari, Yu Ningsih dan Trio GAM (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben) juga meramaikan pentas yang disutradari oleh Agus Noor dan artistik yang ditangani oleh Ong Harry Wahyu. Para maestro ini dikenal bukan saja sekedar pencapaian kemampuan atau teknik berkesenian yang mereka hasilkan, namun juga nilai-nilai yang saat ini makin hilang dari masyarakat kita seperti komitmen dan pengabdian. Inilah yang menjadi alas an program “Indonesia Kita” untuk mengangkat kisah dengan latar belakang kehidupan para maestro dari beragam disiplin kesenian. “Matinya Sang Maestro” merupakan rangkaian program Indonesia Kita 2014 yang didukung oleh Djarum Apresiasi Budaya. Kegiatan dipentaskan pada 12 – 13 April 2014 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. (Sumber artikel: http://www.indonesiakaya.com/jendela-budaya/pergelaran-budaya/detail/indonesia-kita-2014-matinya-sang-maestro)