Artikel & foto: Akbar Keimas Alfareza
Apabila kita menyebut nama Kota Jakarta, maka satu hal yang terlintas di kepala kita adalah kemacetan lalu-lintasnya. Jika Bandung yang disebut orang, maka factory outlet lah yang terbersit di benak Anda. Lalu, bagaimana jika nama Kota Depok yang disebut? Apa yang terlintas dalam benak Anda? Kota yang penuh kampus? Kota yang dipenuhi oleh kaum intelektual sehingga memiliki semangat baca yang tinggi? kota yang dipenuhi oleh para pemuda yang kreatif? Atau malah kota yang semrawut? Sejarawan Universitas Indonesia JJ Rizal dalam acara Kamis Literasi yang diselenggarakan pada 27 November 2014 menilai, jika ruang kreatif di Kota Depok saat ini mati. Hal ini menyebabkan potensi-potensi kreatif pemuda di Depok tidak dapat berkembang maksimal. Diungkap JJ Rizal, pemuda di Depok membutuhkan ruang untuk berkreasi dan berinovasi guna menyalurkan energi positif mereka dalam pengembangan kreativitas. Namun hal tersebut tak dapat dipenuhi oleh Pemerintah Kota Depok. "Ini menyebabkan banyak pemuda Depok yang tidak memiliki sense of belonging kota ini. Depok hanya menjadi tempat tidur dan tak ada ikatan," ujar JJ Rizal kepada tim seputarevent.com dalam diskusi "Kamis Literasi: Identitas Kota Depok" di Kafe Dara Mina Taman Melati, Margonda Raya, Depok. "Berbeda dengan di Bandung, banyak ruang kreatif yang tersedia di kota itu. Produk kuliner misalnya, hadir dengan beragam pilihan yang selalu menjadi primadona banyak orang. "Lalu bagaimana dengan Depok? Dodol Depok yang dulu tersohor saja saat ini sudah menghilang. Kalau di Bandung semua dapat tumbuh, eksis, dan laris," kata Rizal. Lebih lanjut diungkap pria yang mendirikan Komunitas Bambu ini, Kota Depok juga tak memiliki identitas jati diri sebagai sebuah kota. Tidak seperti Yogyakarta yang lekat dengan sebutan kota pelajar, Depok gagal menyematkan gelar serupa. Padahal, kata JJ Rizal, ada Universitas Indonesia (UI) di kota ini. Menurut JJ Rizal, UI tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan Depok. "Padahal ada beragam cabang ilmu di UI yang bisa dieksplorasi untuk membangun Depok. Tapi selama ini ada miss antara Pemkot Depok dengan UI," tambahnya. Lebih lanjut menurut JJ Rizal, Depok harusnya bisa jadi Knowledge City. Namun saat ini, kata Rizal, Depok hanya menjadi kota semrawut. Sedangkan menurut M. Rahmat Yananda selaku founder Makna Informasi yang mengkaji isu-isu Pengembangan Perkotaan di UI, Depok semakin tak nyaman untuk ditinggali karena penataan kota yang semakin semrawut. Ini dibuktikan dengan macetnya jalanan pada akhir pekan, banjir dan genangan air yang selalu melanda tiap hujan datang, serta makin minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia menuturkan pentingnya sebuah kota memiliki branding yang dapat menjadi jati diri kota tersebut. "City branding harus kolaboratif. Branding sebuah kota harus melalui sebuah perencanaan yang matang," ujar M. Rahmat Yananda. Menurut M. Rahmat Yananda, keadaan Depok saat ini identik dengan kemacetan dan Depok tak dapat melepaskan ketergantungannya dari Jakarta. Ia mengungkapkan jika alasan mengapa Jalan Margonda Raya selalu ramai dan padat adalah karena jalan tersebut menghubungkan antara Depok dengan Jakarta. Senada dengan JJ Rizal, M. Rahmat Yananda juga menilai jika rancangan tata ruang kota harus memberi ruang untuk pengembangan kreativitas bagi orang-orang produktif di Depok untuk berkembang. "Disinilah mengapa Depok belum dapat mem-branding dirinya. Siapa saya dan apa sebenarnya saya. Sulit mengidentifikasikan Depok dengan julukan sebagai kota tertentu," pungkas M. Rahmat Yananda pada akhir acara.