Artikel & Foto: Isthi Rahayu
Mutiara dari timur yang mahsyur dengan kekayaan alam dan budayanya tengah berada dalam situasi genting. Seekor naga jahat meneror negeri tersebut sehingga menimbulkan banyak korban. Masyarakat setempat tak ada yang berani mencari makanan, karena semua kekayaan alam yang mereka miliki dimonopoli oleh Sang Naga, yang tak lain sudah menjadi “anjing” orang-orang yang datang dari “Daerah Barat.” Itulah kira-kira sekelumit pengantar pementasan yang dipersembahkan oleh Teater Koma bertajuk Cahaya dari Papua. Pertunjukan teater yang diselenggarakan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta, pada 27 Desember 2014 tersebut tak ayal membuat tim seputarevent.com yang meliput tak sabar menunggu pertunjukan dimulai. Tepat pada pukul 16.00, suara khas milik Tompi pun mengalun menyajikan lagu Anging Mamiri yang dilatari oleh video yang menggambarkan keindahan alam Indonesia. Setelah itu, menyusul dikumandangkannya lagu Indonesia Raya yang sontak langsung diikuti oleh seluruh pengunjung yang memenuhi venue pertunjukan. Ruang pementasan yang penuh sesak oleh para penonton semakin menasbihkan Teater Koma sebagai kelompok kesenian nir-laba yang konsisten, produktif, dan selalu menghasilkan karya yang menghibur dan inspiratif.
Pertunjukan pun dimulai, diawali dengan sebuah kisah dimana seorang wanita kehilangan suaminya akibat kekejaman Sang Naga. Kala itu, wanita tersebut sedang mengandung saat suami beserta seluruh warga desanya yang tengah mencari sagu diserang oleh Sang Naga sehingga mereka semua tenggelam dan beberapa di antaranya dimangsa oleh Sang Naga. Semenjak itu, wanita terebut dengan gigihnya berusaha untuk bertahan hidup dengan anak yang sudah dilahirkannya, yang ia beri nama Biwar. Tanpa diketahui sebelumnya, ternyata Biwar lah yang menjadi pahlawan yang sudah diramalkan selama ini. Dengan berbekal mantera sakti dari sang peramal, Biwar pun tanpa gentar melawan Sang Naga sehingga tumbang dan akhirnya tanah Papua yang diliputi awan kelam kini dapat merdeka dan kembali disinari oleh matahari.
Tanpa disadari, pertunjukan yang dikemas menawan selama 45 menit tersebut berakhir sudah. Sepanjang jalannya pertunjukan, para penonton diajak merasakan beragam emosi, mulai dari kagum akan keindahan dan keunikan alam Papua, takut dan kesal karena kekejaman Sang Naga yang sudah menyedot kekayaan alam Papua, dan juga bahagia karena akhirnya Biwar dapat membuat Papua menjadi merdeka.
Pertunjukan yang disajikan Teater Koma petang tersebut tak ayal telah semakin membukakan mata tim seputarevent.com dan juga pengunjung lainnya mengenai keberadaan saudara-saudara kita yang berada jauh di ujung timur Indonesia tersebut. Pulau yang tak hanya indah, namun juga kaya akan barang tambang. Sebut saja emas, batu bara, nikel, pasir besi dan lain sebagainya yang ironisnya tak dapat dinikmati oleh warga Papua. “Bisa dibilang, Papua saat ini tak bisa dikatakan berkembang. Seharusnya di Papua dibangun sekolah-sekolah yang bagus sehingga yang lulus dari sekolah tersebut dapat membantu membuat Indonesia lebih unggul lagi nantinya,” ujar N. Riantiarno yang mengungkapkan pendapatnya mengenai kondisi Papua saat ini.
Pementasan yang sudah dipersiapkan semenjak Oktober 2014 ini pun mengisyaratkan “kemerdekaan Papua” yang pastinya menggelitik siapapun yang mendengarnya. “Kemerdekaan Papua yang saya isyaratkan di sini bukanlah kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya. Hanya saja, saya berharap pemerintah pusat dapat mensejajarkan mereka dengan warga negara Indonesia lainnya, baik dalam segi hak maupun kewajiban sehingga mereka dapat merasakan kemerdekaan yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya,” tambah pria yang bertindak sebagai penulis naskah dan sutradara dalam pertunjukan ini saat menutup perbincangan dengan tim seputarevent.com.