top of page
Writer's pictureYudika Nababan

Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia

Artikel & Foto: Isthi Rahayu

Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (3).JPG

Tampaknya tahun 2015 menjadi awal yang cukup menjanjikan bagi dunia perbukuan Indonesia. Pasalnya, tahun ini Indonesia diundang menjadi tamu kehormatan pada pergelaran akbar Frankfurt Book Fair. Guna menyambut agenda akbar dunia perbukuan tersebut, sejumlah karya telah disiapkan untuk dipamerkan. Pastinya, momentum ini diharapkan dapat memperbaiki representasi produk intelektual Indonesia di dunia. Terlebih lagi, pada momen ini juga dapat terlihat berapa presentase penulis perempuan yang ikut ambil bagian dalam “pentas dunia” tersebut. Namun, ada hal yang harus disikapi lebih serius lagi di antara ingar bingar perhelatan akbar yang akan dilaksanakan pada 14-18 Oktober 2015 tersebut, yaitu akankah minimnya “suara Indonesia” lewat produk intelektual akan selesai dengan satu kali menjadi tamu kehormatan saja? Kira-kira, itu topik perbincangan pada Kamis Literasi yang diselenggarakan di Goethe Institute, 29 Januari 2015. Kamis Literasi yang diprakarsai oleh NonyaBuku tersebut pada malam itu mengundang tiga orang pembicara, yaitu Okky Madasari (penulis), Salman Faridi (CEO PT Bentang Pustaka), dan Anton Kurnia (Penulis & Penerjemah).

Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (7).JPG

Diskusi sore itu diawali dengan pemaparan Okky Madasari mengenai “kehadiran” karya sastra Indonesia di kancah dunia yang saat ini masih antara ada dan tiada gaungnya. Setelah menelurkan empat buah karya sastra (Maryam, Entrok, Pasung Jiwa, dan 86), beruntung baginya beberapa karyanya sudah mendapat apresiasi pembaca dari luar negeri. Namun baginya hal tersebut tak lain sebagai keberuntungan. Mengapa? Karena karyanya yang dikenal oleh pembaca di luar negeri tak lahir secara terstruktur, masif, dan sistematis. Para pembaca bukunya di luar negeri adalah mereka yang secara kebetulan menemukan bukunya yang terselip di antara tumpukan buku-buku berbahasa Inggris lainnya ataupun beberapa momen lain yang terjadi secara spontan. Tentunya kita tak selalu bisa mengandalkan keberuntungan. Setiap penulis pasti memimpikan karya-karyanya akan terseda di rak-rak toko-toko buku besar di berbagai negara. Diulas di media setempat dan yang lebih utama adalah dikenal dan dibaca oleh masyarakatnya. Lalu bagaimana cara meraih semua ini? Yang jelas memperkenalkan karya-karya penulis Indonesia, khususnya karya sastra, dibutuhkan campur tangan pemerintah—negara, sehingga dapat mengenalkan karya sastra Indonesia ke panggung dunia secara terstruktur, masif, dan sistematis. Mengapa negara? Karena negaralah yang memiliki modal untuk membawa hasil pikiran para sastrawan untuk melintasi batas negara dan memenangkan pertarungan baik secara pengaruh maupun secara nilai ekonomi. Pertanyaanya kini, kapankah negara kita peduli dengan karya-karya sastra Indonesia?

Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (5).JPG

Selanjutnya pemaparan disampaikan oleh Salman Faridi. Baginya, harus diakui jika sepak terjang karya sastra Indonesia di luar negeri memang kurang terasa gaungnya. Ada beberapa alasan untuk hal ini, di antaranya memang kesulitan penerjemahan karya sastra ke dalam bahasa asing. Siapa penerjemah yang tepat, waktu penerjemahan yang cukup panjang, hingga angka menerjemahkan naskah Indonesia ke dalam bahasa asing yang terbilang fantastis. Seberapa fantastis? Mari kita ambil contoh karya Laskar Pelangi yang kini sudah melanglang buana hingga Korea Selatan, Vietnam, Jepang, Jerman dan beberapa negara lainnya. Biaya yang dibutuhkan bagi karya tersebut sehingga bisa dinikmati oleh pembaca internasional sekitar Rp100.000.000. Apabila dibandingkan, angka tersebut setara dengan menerbitkan 10 karya lokal. Maka, tak heran jika “urusan” memperkenalkan karya sastra menjadi hal yang cukup “berat” jika harus dilakukan oleh penerbit semata. Solusinya? Negara lah jawabannya. Mari kita berkaca dari hallyu wave atau gelombang Korea. Kita semua pasti menyadari jika serangan budaya populer Korea ke Indonesia, bahkan seluruh dunia, sangatlah gencar. Tak hanya K-pop, drama, namun juga buku. Beberapa agen naskah dan penerbit sangat agresif mengikuti pameran besar penerbit berkelas dunia. Lalu apakah sikap agresif ini datang tiba-tiba? Pastinya jawabannya tidak. Pemerintah Korea Selatan sudah mempersiapkan hal ini sejak jauh-jauh hari dengan menjaring banyak peminat bahasa Korea dengan membuka fellowship yang berujung pada satu tujuan: memperbanyak “stok” penerjemah yang dapat memperkenalkan karya-karya berbahasa Korea ke dalam bahasa ibu mereka masing-masing. Sudah puluhan tahun Indonesia membuka diri melalui beasiswa Darmawiswa yang mengizinkan mahasiswa asing untuk mempelajari bahasa Indonesia. Lalu, mungkinkah pemerintah Indonesia menerapkan hallyu wave untuk memperkenalkan ragam budaya Indonesia ke kancah dunia, termasuk menjaring penerjemah dari mahasiswa asing yang tertarik mempelajari bahasa Indonesia? Hal senada juga diungkapkan oleh Anton Kurnia. Menurutnya, karya sastra kita masih menjadi terra incognita—negeri tak dikenal—dalam pentas sastra dunia. Salah satu alasannya karena tak banyak karya sastra kita yang diterjemahkan ke bahasa asing, terutama bahasa dunia seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Dan tak jauh seperti yang diungkapkan oleh Salman Faridi, jika perkara menerjemahkan karya Indonesia ke bahasa asing bukanlah hal yang mudah. Terkait dengan hal ini, Anton Kurnia mengusulkan jika ada baiknya jika jangka panjangnya Indonesia dapat membentuk semacam Lembaga Penerjemahan Sastra serupa dengan ITBM (Institut Terjemahan dan Bahasa Malaysia) seperti yang dimiliki negara tetangga, Malaysia. Lembaga yang diharapkan merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah, berbagai kelompok praktisi penerjemahan (termasuk HPI), kalangan akademisi, para penerbit, kaum sastrawan, dan berbagai lembaga kebudayaan asing ini diharapkan dapat membantu memperbaiki kemampuan para penerjemah—khususnya para penerjemah sastra—dari berbagai bahasa ke bahasa Indonesia dalam menjalankan tugasnya, lengkap dengan segenap fungsi dan fasilitas penunjang, di antaranya referensi yang lengkap, jaringan yang luas, dan lain-lain. Lembaga ini juga bertugas memfasilitasi penerjemahan karya-karya sastra Indonesia terbaik ke berbagai bahasa asing, serta mengupayakan penerbitan dan penyebarannya. Ada begitu banyak gagasan yang diungkapkan oleh ketiga narasumber yang hadir pada Kamis Literasi kali ini. Bahan diskusi yang disuguhkan juga menarik, yang terlihat dari banyaknya para undangan Kamis Literasi yang mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Sayangnya, perbincangan mengenai kiprah sastra Indonesia di kancah dunia sore ini harus usai. Namun setidaknya, diskusi kali ini membuktikan jika masih ada pihak yang peduli akan kiprah karya anak bangsa dan diharapkan dapat mengguggah kepedulian negara untuk mewujudkan impian banyak para penulis Indonesia: memperkenalkan karyanya ke kancah internasional.

Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (6).JPG
Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (1).JPG
Penulis (Perempuan) Indonesia di Pentas Dunia (4).JPG
66 views0 comments
bottom of page