Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza
Asean Literary Festival (ALF) kembali digelar di Jakarta untuk kedua kalinya. Perhelatan sastra yang dilangsungkan seminggu lamanya di berbagai tempat di Jakarta ini melibatkan bukan saja sastrawan dari berbagai penjuru dunia, tapi juga para "pemula" dan masyarakat awam. Langit Taman Ismail Marzuki (TIM) Kamis senja, 19 Maret 2015, menjadi saksi bisu dibukanya gelaran sastra terbesar di benua asia tersebut. Cuaca yang pas untuk menandai pembukaan ALF 2015 yang berlangsung hingga 22 Maret. Gala diner menjadi acara utama dalam pembukaan ALF 2015. Sejumlah penulis, penyair, akademisi sastra, aktris, pegiat teater, pekerja LSM, aktivis budaya, dan masyarakat umum tumpah ruah di lobi Teater Kecil TIM. Turut hadir di antara para undangan, Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Mali Selain itu, yang juga turut membuat malam tersebut semakin istimewa adalah hadirnya pembicara dan pengisi acara ALF 2015 seperti Josephine Chia dari Singapura dan Idriss Bouskine dari Aljazair, penulis Tommy F Awuy, dan Sarasswati Dewi dari Indonesia. Serta hadir pula para pegiat sastra dan budaya seperti Steve Elu, Andi Gunawan, Bernard Batubara, Bentara Bumi, Komunitas Sastra Kalimalang, dan puluhan tamu yang sebagian besar anak muda.
Kaum belia rupanya menjadi salah satu sasaran utama festival ini, papar Okky Madasari, novelis yang juga direktur program dan salah satu penggagas ALF. Karena itu, "Kami secara khusus melibatkan banyak penulis muda berbakat yang masih belum mendapat banyak kesempatan selama ini. Itu komitmen utama ALF sejak awal," tutur penulis yang salah satu karyanya adalah novel 86 ini. ALF 2015 mengambil tema “Questions of Conscience” pertanyaan-pertanyaan nurani. Menurut Abdul Khalik selaku Direktur Utama ALF 2015 dalam pidato sambutannya, ini merupakan respon atas dinamika global dan perkembangan zaman, terutama terkait dengan laju konsumerisme dan perkembangan teknologi informasi. Anak-anak muda merupakan komitmen utama ALF sejak awal."Bagaimana sastrawan dan karya sastra ASEAN dan Asia pada umumnya menghadapi perubahan? Masihkah karya sastra menjadi suara hati nurani dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan?” tambahnya.
ALF yang pada tahun ini merupakan pelaksanaan yang kedua ini diisi dengan berbagai acara seperti diskusi, lokakarya, baca karya, pemutaran film, pertunjukan musik, hingga kuliah umum alias orasi Ma Thida seorang penulis dan aktivis HAM Burma yang pernah menjadi tahanan politik. ALF diselenggarakan pertama kali tahun 2014, berangkat dari gagasan bahwa "meski berada di satu wilayah Asia Tenggara, kita tak saling mengenal karya-karya sastra dan sastrawan dari negara-negara ASEAN," ungkap Okky Madasari, penulis yang pernah memenangkan Kpistiwa Literary Award 2012 untuk karyanya, "Maryam." "Di dunia internasional, karya sastra Asia Tenggara juga belum mendapat perhatian yang besar. ALF ingin menjadi jembatan atas persoalan ini," tambahnya pula. ALF 2015 ini melibatkan para sastrawan dari 20 negara meliputi negara-negara Asia Tenggara, Cina, Korea Selatan, Australia, Aljazair, Jepang, Jerman, Norwegia, Amerika Serikat, dan India. Yang menjadi musabab, menurut Okky, karena ALF memang diarahkan untuk menjadi ruang bertemu tidak hanya bagi sastrawan Asia Tenggara tapi juga sastrawan dari belahan dunia lain.