Artikel & Foto: Isthi Rahayu
“Iki lakuku, sawise suwe anggonku ku mlaku. Rogoku kepengin tumeko sajroning rupo uripku kanggo nggayuh cita-cita...” Perjalanan hidup seseorang memang selalu menarik untuk diresapi. Banyak hal yang bisa kita ambil sebagai pelajaran... apabila kita dapat melihat lebih jauh segala hikmah dibalik segala kejadian. “Ini perjalananku, setelah sekian lama waktu berjalan. Jiwaku ingin hadir ke dalam wajah kehidupanku untuk menggapai sebuah cita-cita...” Itulah kira-kira yang coba disampaikan oleh sang koreografer, Kris Soewardjo, pada pementasan tari Jiwaku Tansah Hambeksa yang digelar di Galeri Indonesia Kaya (GIK), 21 Maret 2015. Karya tari yang dipersembahkan pada sore tersebut menceritakan tentang kehidupannya yang ia lalui dengan berkesenian tanpa mengenal lelah. Maka pada kesempatan yang istimewa tersebut, melalui lima karya tari yang diciptakannya, ia pun menuturkan proses kehidupannya yang cukup panjang semenjak pertama kali ia mendalami bidang tari pada usia 10 tahun.
Pertunjukan kali itu dibuka dengan karya tari yang diberi judul Nindak Ondel Putri, sebuah tari kreasi yang berasal dari Betawi yang diinspirasikan dari sebuah ondel-ondel putri. Tarian ini menceritakan lenggak-lenggok ondel putri layaknya seperti penari topeng Betawi yang sedang menunjukkan kebolehannya dalam menari. Lima orang penari yang berbalut busana yang terinspirasi pada ondel-ondel pun menari dengan energik khas tarian asal Betawi. Suara properti berupa kipas berukuran besar warna merah yang dibawa kelimanya pun tak jarang mendatangkan nuansa tersendiri ketika dibuka. Selanjutnya tiga orang penari yang mengenakan baju adat Betawi berwarna merah-putih pun memasuki panggung dengan lenggokan yang membuai para penonton. Ketiganya membawakan tari Topeng Jigrik ‘Ndat. Tarian ini merupakan tari kreasi asal Betawi yang menceritakan tentang karakter manusia mengenai kelembutan bukan berarti ketidakberdayaan. Kadang kelembutan bisa berubah menjadi sosok penuh kekerasan atau keangkaramurkaan jika dikehendaki. Semuanya itu bisa dilakukan semudah membalikkan tangan tanpa diketahui dan disadari. Ketiga penari yang membawakan tari kreasi dengan ritme yang cukup cepat tersebut membawa topeng yang melambangkan jika hidup memang penuh dengan kepura-puraan. Selanjutnya, seorang pria bertelanjang dada yang dipadukan dengan jarit sebagai bawahan pun masuk. Ia lalu melantunkan kidung berbahasa Sunda yang menyiratkan nada kesedihan, tentang perjuangan hidup rakyat kecil. Kebutuhan bahan pokok merupakan sesuatu yang diperlukan oleh manusia. Jika harga barang meningkat sedangkan pendapatan yang diterima tetap, maka masyarakat tentu tidak akan bisa menggapai atau membelinya. Akibat dari perubahan harga tersebut, banyak masyarakat yang semakin menderita dan terpukul. Tarian yang dikemas dalam karya tari kontemporer yang berpijak pada tari Sunda ini diberi judul Ngangres dan pernah mendapatkan predikat kedua dalam GKJ Award pada tahun 1999.
Tak berapa lama berjeda, dua orang pria yang mengenakan busana yang didominasi oleh warna merah dan putih pun memasuki panggung. Keduanya membawakan tarian berjudul Horeg, sebuah tarian kontemporer yang mengambil pijakan gerak Sunda dan Jawa. Keduanya pun menarikan lakon ini dengan energik, yang menggambarkan jiwa manusia yang ingin mengeluarkan perasaan dan pikiran yang ada di dalam tubuh manusia.
Ketika Horeg usai dipentaskan, seorang pria yang mengenakan busana hitam yang berpadu dengan jarit khas Jawa Tengah pun memasuki panggung dan menyuguhkan tarian Jiwaku Tansah Hambeksa. Tarian yang berpijak pada gerak Jawa ini terbilang istimewa, karena dibawakan langsung oleh sang koreografer, Kris Soewardjo. Tarian yang dibalut dalam nuansa kontemporer ini diciptakan pada tahun 2015 dan merupakan karya yang khusus ia ciptakan untuk pementasan di GIK sore itu dan sekaligus menutup rangkaian pertunjukan sore tersebut.
“... Rino kelawan wengi, rogoku tak gowo makaryo tansah ngrasa’ake sayah. Onggonku urip tansah aneka ake batinku kanggo ngungkapake lantaran gerak, ruang, lan waktu. Rogoku ora bakalan ucul karo gendingan sing tansah ngganggu sajroning uripku. Mangka kuwi alunan tembang lan gending anggawe aku tansah mututi lakuku....”* --- *Hari demi hari, jiwaku kuisi dengan kesibukan tanpa mengenal lelah. Kehidupan yang kulalui dengan menghadirkan perasaanku untuk diungkapkan melalui gerak, ruang, dan waktu. Jiwaku tidak akan pernah lepas dengan irama yang selalu mengusik di dalam kehidupanku, sehingga alunan melodi dan irama musik membuatku selalu ingin mengukuti langkahmu....”