top of page
Writer's pictureYudika Nababan

Teater Koma Persembahkan Opera Ular Putih

Artikel: Akbar Keimas Alfareza | Foto: Akbar Keimas Alfareza & Isthi Rahayu

Bagi Anda yang lahir di era 90’an, pasti pernah akrab dengan serial bersambung Legenda Ular Putih atau yang akrab disebut dengan White Snake Legend. Di tengah popularitas legenda yang tengah memuncak, Teater Koma pernah mementaskan lakon ini di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Kini, tepat dua dekade berlalu, dengan didukung oleh Djarum Apresasi Budaya, Teater Koma kembali mempersembahkan Opera Ular Putih yang memasuki produksi ke-139. “Pementasan yang dilaksanakan pada 3-19 April 2015 ini diangkat dari kisah klasik Tiongkok yang berjudul Oh Peh Coa yang kemudian naskahnya dibuat pada tahun 1994. Secara garis besar pementasannya tidak jauh berbeda, namun terdapat hal kekinian yang akan dipentaskan nanti. Pertanyaan yang diajukan akan tetap relevan: Masih sanggupkah kita membedakan siapa manusia dan siapa siluman? Semoga penonton dapat mengambil makna yang kaya akan pesan moral tersirat yang berusaha kami sampaikan dalam lakon ini,” tutur Nano Riantiarno, sang penyadur naskah dan sutradara pementasan ini. Cerita Opera Ular Putih Teater Koma memang diangkat dari cerita tradisi Tiongkok. Maka seluruh sektor yang mendukung tontonan ini pun bernuansa negeri Tirai Bambu. Mulai dari kostum pemain, lagu, musik, panggung, hingga warna-warna ngejreng yang menyiratkan kultur Tiongkok. Satu-satunya yang masih meng-indonesia tentu saja di sektor bahasa Teater koma menemukan kembali performanya sebagai kelompok teater yang menghibur sekaligus pembawa pesan kekinian, lengkap dengan dialog-dialog bernas yang kadang lucu kadang sarkastis. Musiknya yang ditata rapi, demikian juga artistik panggung serta tata busana dan tata cahaya yang ditangani serius. Pementasan ini berkisah tentang siluman ular putih yang ingin menjadi seorang manusia sehingga ia bertapa selama 1.000 tahun. Karena usaha dan kebaikan yang ada dalam dirinya, para dewa mengabulkan permintaannya dan ia pun menjelma seorang wanita cantik jelita bernama Pehtinio. Bersama dengan adiknya, yaitu siluman ular hijau yang juga menjelma menjadi seorang manusia bernama Siocing, mereka pun menjalani kehidupan sebagai manusia biasa.

Cerita berlanjut ketika Tinio bertemu pemuda bernama Kohanbun, yang merupakan reinkarnasi dari orang yang dulu pernah menolong Ular Putih ratusan tahun yang lalu, hingga akhirnya Tinio pun bertekad untuk menjadi istri Kohanbun. Namun, kedamaian mereka terusik ketika Kohanbun bertemu dengan Gowi, seorang peramal yang memberitahu bahwa istrinya adalah seekor siluman ular jahat, tidak peduli segala kebaikan yang dilakukan Tinio. Sehingga muncul berbagai pertanyaan, Apakah yang dikutuk sebagai kejahatan memang benar kejahatan? Apakah hal yang diagungkan sebagai kebaikan hanya merupakan kedok suatu kebusukan? Dalam kisah ini dituturkan juga tentang pengorbanan, kebijaksanaan dan cinta. Kendati sudah berusia ratusan tahun dan pernah dipentaskan pada tahun 1994, namun legenda tua Tiongkok ini tetap masih kontekstual di zaman sekarang. Pertanyaan-pertanyaan bernada protes dari rakyat kepada penguasa masih saja membentur tembok dan tak berarti apa-apa. Perilaku penguasa yang suka “iseng” dengan aturan-aturan yang dibuat namun kerap dilanggar sendiri, menjadi renungan yang bisa dibawa pulang oleh penonton. Sosok Tinio sebagai siluman yang berupaya menjadi manusia yang baik, tetap saja dicap sebagai si jahat yang harus dibasmi. Itulah yang kerap kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, sulit memaafkan figur-figur bekas orang jahat yang sudah berubah menjadi baik.

Lakon Ular Putih membawa mata kita kepada sentuhan artistik yang menghiasi seluruh panggung dan penampilnya. Meski didominasi nuansa Cina, namun pertunjukan kali ini juga menampilkan sentuhan kreatif terutama pada kostum yang dipakai oleh para pemain. Kostum pemain yang dirancang oleh Rima Ananda Oemar yang memperlihatkan perpaduan motif batik khas Indonesia nan indah pada bentuk busana khas Tiongkok dan dimodifikasi dengan batik motif Sidomukti, Megamendung, hingga Lereng. Ditambah dengan tata rias oleh Sena Sukarya, sehingga semua unsur ini akan memperlihatkan percampuran dua budaya dan mewakili semangat akulturasi budaya. Pementasan Opera Ular Putih ini dibintangi oleh Tuti Hartati, dimana pada pementasan Teater Koma sebelumnya, Republik Cangik, ia harus berperan jenaka sebagai Limbuk dan kini ia harus berubah 180 derajat menjadi Tinio yang lemah lembut. Tak ketinggalan, pementasan kali ini juga didukung oleh seniman kawakan Teater Koma seperti Budi Ros, Andhini Putri Lestari, Adri Prasetyo, Ade Firman Hakim, Dodi Gustaman, Daisy Lantang, Ratna Ully, Dorias Pribadi, Sir Ilham Jambak, Aris Abdullah, Dana Hassan, Julung Ramadan, dan Rangga Riantiarno. Musik yang menghiasi pergelaran ini dikomposisi oleh Idrus Madani dan diaransemen oleh Fero Aldiansya Stefanus, serta menghadirkan permainan alat musik Tiongkok seperti guhzen dan ehru yang menunjukkan indahnya perpaduan kedua kebudayaan Tiongkok dan Indonesia. Sementara gerak tari ditata oleh Elly Luthan, diperindah oleh tata artistik dan cahaya garapan Taufan S. Chn. Produksi yang dipimpin oleh Ratna Riantiarno ini dibantu juga oleh pengarah teknik Tinton Prianggoro dan pimpinan panggung Sari Madjid Prianggoro.

Teater Koma Mempersembahkan Opera Ular Putih (23).JPG
81 views0 comments
bottom of page