top of page
Writer's pictureYudika Nababan

Pementasan Wayang Boneka Orkes Madun atawa Madekur dan Tarkeni

Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza

Nama Arifin C Noor pastinya sudah tidak asing lagi di khazanah dunia sastra Indonesia, khususnya panggung drama. Berbagai karyanya sudah menjadi tolak ukur bagaimana perkembangan sastra Indonesia. Atas dedikasinya yang tak terbayarkan, Komunitas Salihara menggelar sebuah parade teater bertajuk “Helateater Salihara 2015” yang ditujukan untuk untuk penulis sekaligus sutradara Arifin C. Noer. Sebagai pembuka salah satu hajatan sastra drama Salihara tahun ini dibuka oleh Teater Boneka Cing Cing Mo yang mementaskan Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun 1, lakon karya Arifin C Noor yang dibalut dalam kemasan wayang golek. Hasilnya memukau, sebab harmoni tari dan musik karawitan dalam kemasan baru tak menghilangkan cita rasa karya Arifin. Lima lakon karya Arifin; Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun, Mega-Mega, Kocak-Kacik, Sumur Tanpa Dasar, dan Kapai-Kapai akan dipentaskan kembali oleh enam kelompok teater yang berasal dari Jakarta, Yogyakarta, dan Solo. Kelompok teater yang mendapat kesempatan mementaskan karya Arifin diberi kebebasan untuk menafsir teks secara baru. Demikian juga soal pendekatan dan gaya, meski tidak menghilangkan “cita rasa” khas Arifin. Inilah yang membuat lakon-lakon tersebut menarik disimak. Lakon Madekur dan Tarkeni atawa Orkes Madun,yang dimainkan oleh Teater Boneka Cing Cing Mo, misalnya. Teater asal Tegal itu memainkan kembali lakon Madekur dan Tarkeni dengan pendekatan wayang golek dan tari dengan balutan koreografi yang inovatif. Hasilnya, penampilan Cing Cing Mo pada Jumat malam, 10 April 2015 di Gedung Galeri Komunitas Salihara sangat menghibur para penonton. Alur cerita dan perubahan suasana yang begitu cepat menjadi daya pikat tersendiri pada pementasan Madekur dan Tarkeni. Misalnya, mula- mula penonton terlena dalam candaan lucu yang mengocok perut. Namun, dalam sekejap penonton terbawa pada suasana haru ketika Madekur dan Tarkeni harus menanggung takdir cinta yang pahit karena status mereka sebagai pencopet dan pelacur.

Sri Waluyo, dalang Madekur dan Tarkeni atawa OrkesMadun, mengaku cukup kesulitan mengadaptasi naskah novel karya Arifin C. Noor tersebut ke dalam sebuah teater wayang. “Mengadaptasi naskah novel ke wayang cukup sulit karena draft-draft di pewayangannya kan tidak ada,” ujarnya. Namun, kesulitan itu tidak mematikan kreativitasnya. Demi mengatasi kesulitan, Waluyo terpaksa harus berkreasi dengan sedikit menabrak pakem. Dalam naskah asli, perkelahian antara Madekur dan Masgad hanya dilakukan berdua. Namun, ketika diadaptasi ke dalam wayang, Waluyo melebarkan cerita dengan menambahkan tokoh-tokoh fiktif baru dalam adegan perkelahian. Di sini Waluyo mengembangkan cerita imajinatif dari pertunjukkan wayang pada umumnya dengan adegan kepala wayang yang pecah yang di dalamnya diisi kacang. Kesulitan itu, menurutnya, karena Cing Cing Mo beranjak dari latar belakang teater wayang tradisi. Ketika beradaptasi dengan novel, maka banyak hal yang perlu dikembangkan dan diperbarui. Istilah Jawa disebut nyanggit. “Agak sulitnya, karena kami berangkat dari wayang tradisional dan disuruh mengadaptasi novel nasional. Jadi kuncinya, kami nyanggit agar bisa dinikmati semua kalangan,” katanya. Namun menurutnya, kesulitan itu bisa diatasi dengan rutinnya latihan. Untuk mementaskan Madekur dan Tarkeni, para pemeran mengikuti latihan lima hingga enam jam dalam sehari. Selain itu, diperlukan proses harmonisasi antara tarian, musik, dan pewayangan. Agar paduan musik dapat sesuai dengan tema wayang yang dimainkan, musik tradisional ataupun musik populer dimasukkan dan diaransemen ulang dengan khas karawitan. Musik-musik populer membawakan lagu pada adegan-adegan lucu agar penonton dapat menangkap gaya humor yang disampaikan. Selain pembaruan di sisi naskah dan musik, tarian juga ditonjolkan dalam adegan yang menguras emosi. Meski banyak pembaruan dari sisi musik, tari, dan juga naskah, namun citarasa karya Arifin tak begitu saja hilang. Terbukti, penonton yang hadir cukup banyak. Mereka datang dari berbagai kalangan dan usia. Wajar saja jika Teater Boneka Cing Cing Mo sukses menyedot perhatian penonton karena karya Arifin tak lekang oleh waktu dan tak pernah pudar di ingatan pencintanya. Begitulah, karya yang pernah dipersembahkan oleh Arifin kepada bangsa, kini dipersembahkan kembali untuknya sebagai bentuk terima kasih atas dedikasinya terhadap bangsa.

27 views0 comments
bottom of page