Artikel: Salihara | Foto: Isthi Rahayu
Bermain dalam pikiran, begitu banyak orang menjuluki lakon Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer. Namun dalam versi Teater Gardanala Yogyakarta, di Helateater 2015 Salihara, lakon ini muncul sebagai semacam drama rumah tangga. Jumena Martawangsa bisa jadi adalah tokoh dari lakon modern yang paling dikenal di kalangan pelaku teater, selain Panembahan Reso karya Rendra. Jumena Martawangsa adalah satu dari sedikit sekali tokoh yang hadir secara dominan dalam suatu lakon, dengan dialog-dialog panjang, dengan perubahan-perubahan peristiwa dan emosi yang cukup kaya, yang sangat menantang keaktoran. Berbeda dengan Panembahan Reso karya Rendra, "Sumur Tanpa Dasar" jauh lebih sering dipentaskan dan diam-diam menjadi salah satu lakon studi dasar para aktor Indonesia. Jumena Martawangsa bukan Macbeth atau Hamlet atau Raja Lear tentu saja. Jumena adalah salah satu tokoh pertama dalam lakon modern Indonesia yang menyadari dirinya sebagai seorang tokoh fiktif. "Kalau saya bunuh diri, lakon ini tidak akan pernah ada," begitu dialog pertama, pembuka lakon ini.
Ia bukan pula tokoh yang realistis: bajingan kaya raya pelit luar biasa, penindas kejam, tua bangka tak tahu diuntung yang beristerikan perempuan sepertiga umurnya tapi toh tak ia manjakan. Lakon ini sendiri tentu bukan lakon realistis. Ditulis tahun 1964, oleh salah satu perintis utama teater baru Indonesia, lakon ini bermain antara dunia nyata dan dunia pikiran, sesuatu yang seterusnya mewarnai karya-karya Arifin C. Noer kendati bentuk lakonnya jauh berbeda. Latar tempatnya, dalam petunjuk pengarang di naskah lakon ini adalah, "di rumah, dalam pikiran Jumena Martawangsa, atau di mana saja." Jumena si tuan tanah pemilik pabrik, hartawan besar dalam gambaran dongeng-dongeng lama: dengan pembantu perempuan tua terbungkuk-bungkuk yang salah satu tugas utamanya mengganti tempolong ludah Jumena. Di usia tuanya, 83 tahun atau berapapapun, ia memandang maut seakan sebagai tantangan permainan akhir. Ia berdebat, bertengkar, bahkan saling mengejek dengan sang malaikatul maut, yang di lakon ini adalah lelaki bersenapan dengan nama Pemburu alias Sangkakala.
Ia beristerikan Euis, perempuan 23 tahun penuh gairah. Dan Jumena sendiri, bukannya bersyukur pada gairah Euis terhadapnya, malah menampik dan memojokkannya terus menerus. Keruan saja kalau yang kita saksikan dari waktu ke waktu adalah adegan percumbuan Euis dengan selingkuhannya, Juki, adik Jumena. Sumur Tanpa Dasar diniatkan Arifin sebagai lakon kontemplasi antara iman dan eksistensi, tetapi juga ditaburi konflik sosial antara buruh majikan, keserakahan orang kaya dengan penderitaan orang miskin, pertentangan dan kompromi antara kaum borjuis dengan agamawan. Pementasan "Sumur Tanpa Dasar," dari Teater Gardanalla, Yogyakarta ini adalah bagian dari Helateater yang digelar pada 19 April 2015. Festival teater tahunan di Komunitas Salihara, Helateater tahun 2015, ini didedikasikan untuk Arifin C. Noer (1941-1955), salah satu penulis lakon teater Indonesia terpenting.