Artikel: Isthi Rahayu | Foto: Yudika Nababan, Suhendi, Isthi Rahayu
Tak ada tempat yang paling tepat untuk merayakan hari lahirnya RA. Kartini selain di Jepara, yang menjadi jantung semangat perjuangan RA. Kartini. Dan Seputar Event merasa beruntung, karena berkesempatan untuk menyambangi kota yang juga terkenal dengan kesenian ukirnya ini untuk menghadiri Festival Kartini 2015. Malam itu, sekitar pukul 19.00 WIB, tim Seputar Event turut berbondong-bondong bersama warga masyarakat lainnya menuju alun-alun yang terletak di jantung Kabupaten Jepara. Alun-alun berupa lapangan luas berselimut rumput malam itu sudah disulap menjadi pusat keriaan warga, yang dilengkapi dengan tenda-tenda bazar berwarna putih yang menjajakan beragam barang nan menarik. Semakin dalam memasuki area alun-alun, tampak sebuah panggung besar yang sudah dikelilingi oleh para penonton. Ya, di lokasi inilah tim Seputar Event dan ribuan pasang mata warga Jepara menyaksikan pergelaran kolosal yang menghadirkan kekayaan tradisional asli “bumi Kartini,” Jepara Cultural Festival 2015. Jepara Cultural Festival 2015 sendiri merupakan rangkaian acara Festival Kartini 2015 yang pada tahun ini merupakan penyelenggaraan yang ketigakalinya. Festival yang dihelat untuk merayakan hari jadi RA. Kartini yang ke-136 dan Kabupaten Jepara yang ke-366 ini dimeriahkan oleh 38 acara yang diselenggarakan selama dua minggu penuh. Jepara Cultural Festival dibuka oleh sambutan dari Hadi Priyanto selaku Ketua Panitia Festival Kartini 2015 yang dilanjutkan dengan sambutan dari Wakil Bupati Jepara, Subroto. “Festival Kartini ketiga merupakan perhelatan budaya terbesar dan terlengkap sepanjang sejarah Jepara. Saya sepakat untuk menjadikan Festival Kartini sebagai acara promosi daerah. Oleh karena itu, acara yang baru ketiga kalinya ini diharapkan benar-benar menjadi pesta rakyat warga Jepara,” ungkap Subroto pada sambutannya.
Setelah pertunjukan tari saman dan atraksi pencak silat digelar, kini tiba saatnya untuk memasuki acara puncak, yaitu pergelaran tiga tradisi asli Jepara yang langsung disambut hangat oleh para pengunjung yang memadati tepian panggung. Tradisi pertama yang disajikan adalah Tradisi Memeden Gadu atau yang dalam bahasa Indonesia berarti tradisi Hantu Gadu. Memeden Gadu merupakan tradisi lama dari petani kuno di Jepara, tepatnya di Desa Kepuk, Kecamatan Bangsri. Awalnya Memeden Gadu diselenggarakan karena para petani sudah kehabisan cara untuk mengusir musuhnya, hama. Lalu sekelompok anak muda di Jepara mengingatkan bahwa masih ada cara lain untuk mengusir hama perusak tanaman. Mereka tak perlu dibunuh, namun dengan konsep lama, yaitu membuat memedi sawah. Memeden Gadu yang dimaksud di sini adalah orang-orangan sawah yang berfungsi untuk mengusir hama semisal wereng, belalang, ataupun burung. Di tempat asalnya, Desa Kepuk, Memeden Gadu diselenggarakan setiap 12 Oktober yang melibatkan ratusan orang-orangan sawah yang dikemas dalam bermacam bentuk menarik. Pada tradisi Memeden Gadu yang disajikan pada malam itu, tampak ratusan penari dan penampil mulai dari usia muda hingga tua memperagakan keseharian masyarakat Desa Kepuk. Membatik, membajak sawah, “menakut-nakuti” hama yang diperagakan oleh orang yang didandani sebagai memeden gadu, hingga peragaan di kala musim panen tiba. Kesemuanya itu dikemas dalam bentuk tari ataupun atraksi yang menarik, yang membuat para penonton berdecak kagum. Tradisi kedua yang digelar adalah Pesta Baratan, suatu tradisi arak-arakan lampion dari Kecamatan Kalimanyatan yang erat kaitannya dengan Ratu Kalinyamat. Kata Baratan sendiri berasal dari sebuah kata bahasa Arab, yaitu “baraah” yang berarti keselamatan atau “barakah” yang berarti keberkahan. Ada dua versi yang mendasari lahirnya tradisi ini, salah satunya adalah ketika Ratu Kalinyamat membawa jenazah suaminya, Sultan Hadlirin, yang tewas usai berperang melawan Aryo Penangsang. Peristiwa itu berlangsung pada malam hari, sehingga masyarakat di sepanjang jalan yang ingin menyaksikan dan menyambut rombongan Ratu Kalinyamat harus membawa alat penerang berupa obor. Maka pertunjukan malam itu pun menjadi semakin meriah karena hadirnya ratusan muda-mudi yang membawa obor dan lampion. Pada kesempatan kali itu, digambarkan pula barisan arak-arakan Pesta Baratan, di antaranya barisan Sapu Jagad, Ratu Kalinyamat sendiri, para santri pengikut Sultan Hadlirin, dan pengiring pembawa lampion. Di tempat asalnya, Pesta Baratan diselenggarakan setiap tanggal 15 Sya’ban (kalender Komariyah) atau 15 Ruwah (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam nishfu syakban. Tradisi terakhir pun digelar, yaitu Perang Obor yang berasal dari Desa Tegal Sambi, Kecamatan Tahunan. Upacara ini didasarkan pada legenda Ki Gemblong yang dipercaya oleh Kyai Babadan untuk merawat dan menggembalakan ternaknya. Suatu hari, Ki Gemblong terlena dengan ikan dan udang di sungai sehingga ternak yang digembalakannya sakit dan mati. Karena tidak terima, Kyai Babadan pun memukul Ki Gemblong dengan obor dari pelepah kelapa dan Ki Gemblong pun menggunakan obor serupa untuk membela diri. Tanpa diduga, benturan kedua obor tersebut menyebarkan api di tumpukan jerami di sebelah kandang. Ternak yang awalnya sakit tiba-tiba sembuh, sehingga menimbulkan kepercayaan jika api obor mampu mendatangkan kesehatan dan menolak bala.
Maka malam itu, puluhan pemuda bertelanjang dada pun memenuhi panggung sembari membawa obor berupa gulungan pelepah kelapa yang sudah kering dan bagian dalamnya diisi dengan daun pisang kering. Setelah dilakukan beberapa seremoni, para pemuda itu pun berkumpul di tengah panggung untuk menyalakan obor yang dibawanya. Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya obor-obor yang mereka bawa pun menyala dan dalam hitungan detik para pemuda itu saling memukulkan obor pada tubuh satu sama lain. Api yang memercik setiap kali obor bertumbukan dengan tubuh lawan membuat para pengunjung yang mengerumuni panggung terkesiap. Sesekali menjauh karena takut terkena percikan api, namun segera meringsek mendekati panggung karena tak rela untuk kehilangan momen yang menakjubkan tersebut. Hingga akhirnya, puluhan obor yang disediakan pun habis dan ritual untuk menutup tradisi Perang Obor ini dilaksanakan. Di Desa Tegal Sambi sendiri Perang Obor dilaksanakan setiap setahun sekali pada Senin Pahing, malam Selasa Pon di Bulan Dzulhijjah. Lewat dari tengah malam, Jepara Cultural Festival usai digelar. Para pengunjung yang berjalan keluar dari lapangan menunjukkan wajah semringah, terlihat puas dengan gelaran pesta rakyat yang terselenggara setahun sekali tersebut. Sungguh tepat rasanya jika kesenian-kesenian tradisi Jepara itu disuguhkan dengan kemasan teatrikal. Sehingga, masyarakat menjadi lebih menikmati dan diharapkan dapat lebih mengenal, memahami, lalu melestarikan tradisi budaya setempat.