Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza
Empat dasawarsa sudah Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Selama empat dasawarsa itu pula TMII secara konsisten selalu mendekatkan masyarakat Indonesia kepada seni dan budaya khas Indonesia, baik melalui anjungan-anjungan rumah adat seluruh provinsi maupun lewat pergelaran seni yang rutin digelar setiap minggunya. Pada Senin, 20 April 2015, puncak perayaan HUT TMII yang ke-40 pun digelar. Beragam acara menarik diselenggarakan, salah satunya adalah pementasan Purna Drama Ciung Wanara persembahan Sanggar Annisa Rumpaka. Pementasan yang dipusatkan di Teater Bhineka Tunggal Ika itu turut disaksikan oleh Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, Puan Maharani, sejumlah duta besar negara tetangga, Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, dan perwakilan dari 34 provinsi di seluruh Indonesia.
Iyan Mulyana selaku pimpinan sanggar seni Annisa Rumpaka menuturkan jika kesempatan ini merupakan kehormatan bagi sanggar yang dipimpinnya. “ Kami melibatkan 120 seniman untuk pemantasan ini,” katanya. Ia juga menyebutkan jika pementasan tersebut sekaligus prestasi yang dimiliki sanggar selama ini, terlebih Annisa Rumpaka merupakan satu-satunya sanggar seni perwakilan dari Jawa Barat. Untuk persiapan di balik layar, pementasan ini juga melibatkan pekerja-pekerja seni kenamaan, sebut saja Rusman S.Sn sebagai sutradara, Danki Syamsiar dan Agus Super sebagai penata musik, Oos Koswara S.Sn sebagai penata tari, dan Iyan Mulyana sebagai penata rias. Pementasan ini bermulai ketika Prabu Barma Wijaya, Raja Sunda Galuh, nyaris terbunuh di hutan saat berburu. Barma Wijaya tidak menyadari jika penyerangan terhadap dirinya adalah perbuatan Irmantara sang Patih Sunda Galuh, adiknya sendiri yang ingin mengambil alih tahta Sunda. Barma Wijaya akhirnya ditemukan dan dirawat oleh keluarga raksasa yang menjelma sebagai manusia, yaitu Kiparang Bumi, Nyai Kluak, dan anaknya Dewi Pangreyep. Untuk membalas budi, akhirnya Prabu Barma Wijaya mengangkat Dewi Pangrenyep sebagai istri kedua nya. Sementara itu, Irmantara terus berusaha untuk melenyapkan sang raja dengan cara mendekati Dewi Pangrenyep dan akhirnya mereka pun menjalin hubungan gelap.
Istri pertama Barma Wijaya, Dewi Pohaci Naganingrum, dan Dewi Pangreyep sama-sama hamil. Bedanya, Dewi Pohaci Naganingrum benar-benar mengandung putra Barma Wijaya sedangkan Dewi Pangrenyep mengandung hasil hubungan gelapnya dengan Irmantara.
Akhirnya, Irmantara, Dewi Pangreyep, Kiparang Bumi, dan Nyai Kluak pun merencanakan niat busuk. Saat Dewi Pohaci melahirkan, keempatnya menukar bayi mungil milik Dewi Pohaci dengan seekor anak anjing. Sedangkan bayi Dewi Pangreyep yang merupakan hasil perselingkuhannya dengan Irmantara pun dibuang. Melihat Dewi Pohaci melahirkan seekor anjing, Barma Wijaya pun sangat kecewa dan mengusir Dewi Pohaci dari istana bersama anak anjingnya. Sepuluh tahun kemudian, bayi Dewi Pohaci yang diberi nama Ciung Wanara pun tumbuh dengan cerdas dan memiliki banyak keterampilan berkat ajaran dari Aki Balagantara. Dan tanpa di sengaja, Ciung Wanara pun bertemu dengan Pangiran Sunda Galuh, Yaitu Pangiran Harian Banga yang tak lain merupakan putra hasil hubungan gelap antara Dewi Pangreyep dengan Irmantara yang dulu dibuang. Keduanya pun saling bermusuhan. Lalu secara kebetulan juga Ciung Wanara bertemu dengan Dewi Pohaci. Dewi Pohaci bercerita tentang masa lalunya, kalau dirinya adalah permaisuri kerajaan Sunda Galuh yang terusir karena melahirkan anjing yang diberi nama Lemur. Mereka sama-sama tidak sadar kalau sebenarnya mereka ibu dan anak. Gelaran pementasan Ciung Wanara ini sekaligus menandai selesainya rangakaian panjang perayaan HUT TMII ke-40. Jaya terus bangsaku dan Cintai Budaya Indonesia.