Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza
Keputusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menjadikan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) menjadi di bawah Unit Pelaksana Teknis menuai kontroversi dari kalangan budayawan dan seniman Jakarta. Seniman Jakarta yang menuntut keseteraan posisi budaya dan kesenian sejajar dengan bidang politik, ekonomi, dan hankam menimbulkan tuntutan agar Pemprov DKI membangun infrastruktur kesenian dan budaya serta mengalokasikan sedikitnya 2% dari pendapatan daerah guna pembangunan seni dan kebudayaan serta mengembalikan Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) seperti saat dibangun oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai suaka kebudayaan Jakarta dan Indonesia. Berdasarkan kasus tersebut para seniman dan beberapa petinggi TIM menggelar “Opera TIM” sebagai bentuk orasi kreatif. Melaui pementasan seni teater ini diharapkan dapat memberi pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat, sekaligus jadi instrumen perubahan, kepedulian, dan keadilan sosial. Pementasan ini menyuarakan bahwa peran kesenian tidak akan pernah berubah dalam tatanan kehidupan manusia. Sebab, melalui media kesenian, makna citra manusia berbudaya semakin jelas dan nyata. Dan seni harus bisa menjadi bagian dari usaha pendidikan moral yang dapat membangkitkan rasa keadilan. Pementasan berjudul ”Opera TIM” ini digelar di Graha Bhakti Budaya (GBB) TIM, pada Sabtu 9 Mei 2015, pukul 20.00 WIB dan dibuka untuk umum tanpa ditarik bayaran. Sudibyo JS yang menjadi sutradara pementasan ini menjelaskan jika Opera TIM adalah refleksi atas kekisruhan sistem pengelolaan TIM yang selama ini berfungsi sebagai pusat pengembangan seni dan kebudayaan. Namun Peraturan Gubernur DKI Jakarta, Nomor 109 Tahun 2014, mengubah PKJ-TIM menjadi Unit Pengelola (UP) yang secara teknis di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
”Persoalan pengelolaan PKJ-TIM bukan saja menyangkut kemampuan teknis pengelolaan belaka. Tetapi terkait juga dengan masalah strategi kebudayaan, ideologi, kuratorium, program acara, ruang kreatif, kepercayaan stakeholder, dan berbagai dampak yang ditimbulkan,” kata sutradara yang merupakan lulusan Penyutradaraan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini. Pementasan yang diproduksi oleh Swargaloka Art and Culture Foundation dan didukung para aktor dan aktris dedikatif dari berbagai komunitas film dan teater, serta mahasiswa IKJ. Kesemua pendukung acara tersebut menampilkan sebuah opera yang dikemas dengan gaya komedi segar, santai, cerdas, dan pastinya menghibur namun membawa pesan yang mendalam bagi Pemerintahan Indonesia.