Artikel: Isthi Rahayu | Foto: Isthi Rahayu & Tivani Saputri
Ketika kita mendengar profesi sinden, maka hal yang melekat di benak banyak orang adalah stigma negatif yang dari zaman ke zaman selalu diturunkan. Padahal, profesi sinden memiliki arti penting bagi bangsa ini. Tak hanya sebagai seniman yang menjadi simpul kebudayaan dalam seni pertunjukan Indonesia, ternyata sinden juga berjasa dalam pembentukan sejarah negeri ini. Namun sayang, selama ini fakta tersebut seakan ditutupi atau selalu disamarkan. Kira-kira, itu salah satu pesan yang tersirat dari pemetasan Sinden Republik yang diselenggarakan pada 29-30 Mei 2015 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB TIM), 29-30 Mei 2015. Namun jangan khawatir, pembahasan “seberat” itu takkan membuat Anda terkantuk. Karena dijamin, selama tiga jam pementasan tersebut diselenggarakan, Anda takkan dapat berhenti tertawa karena terpaan humor segar yang dilontarkan oleh para pemain. Panggung GBB TIM malam tersebut bertabur bintang. Sederet sinden-sinden muda berbakat tanah air beradu akting dalam pergelaran yang diprakarsai oleh Indonesia Kita ini. Sebut saja Soimah, Rita Tilla, Endah Laras, Sruti Respati, juga sinden asal Amerika, Megan Colleen. Selain itu, pertunjukan ini juga takkan lengkap tanpa kehadiran Butet Kertaredjasa, Miing Bagito, Cak Lontong, Akbar, Kelompok Sahita, Trio GAM, dan juga Sujiwo Tejo yang didapuk sebagai sutradara serta merangkap peran sebagai Nyi Sinden Sepuh. Kisah Sinden Republik berawal ketika Nyi Sinden Sepuh sebagai sinden senior meminta murid-murid lamanya, yaitu Miing Bagito dan Butet Kertaredjasa yang dikawal oleh Akbar dan Cak Lontong untuk mencari sinden yang memiliki rajah (tato) pada punggungnya. Mengapa? Karena founding father bangsa kita dikisahkan telah menuliskan dasar bangsa ini di punggung seorang sinden. Sontak, pertanyaan yang terlontar adalah mengapa di punggung, mengapa tidak di daun lontar, kertas, dan sejenisnya. “Karena diharapkan dasar bangsa kita bisa bersatu dengan jiwa dan raga. Daripada hanya diucapkan, namun tidak melekat di dalam badan,” tandas Nyi Sinden Sepuh.
Selain itu alasan mengapa dasar negara ini dirajah di punggung seorang sinden, adalah karena sinden memiliki arti penting bagi bangsa ini. Misalnya saja ketika Bung Karno mensosialisasikan revolusi melalui sinden. “Tahu tidak, kenapa dulu Konferensi Asia Afrika jadi terlaksana? Dulu, seluruh pemimpin dunia menolak datang ke Bandung. Namun setelah Bung Karno bilang kepada mereka jika di Bandung banyak pesinden, maka akhirnya konferensi tersebut pun bisa dilaksanakan,” papar Nyi Sinden Sepuh yang disambut oleh tawa para penonton. Akhirnya Miing Bagito dan Butet berserta Akbar dan Cak Lontong pun dititahkan untuk mencari sinden dengan rajah di punggungnya ke Kampung Sinden. Butet Kertaredjasa dan Cak Lontong diperintahkan untuk menuju Kampung Sinden melalui Pantai Selatan, Parang Kusumo, sedangkan Miing Bagito dan Akbar menuju Kampung Sinden melalui Goa Semar di Cilacap. Setelah melalui perjalanan panjang, keempatnya pun sampai di Kampung Sinden dan bertemu dengan para sinden: Soimah, Sruti, Kelompok Sahita, dan Trio GAM. Di kampung ini keempatnya pun mengikuti tradisi Bukak Klambu. Butet, Miing, Cak Lontong, dan Akbar masing-masing mendapat giliran masuk ke dalam sebuah bilik dengan klambu, persis seperti adegan dalam cerita Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Tak disangka, tradisi Bukak Kelambu membuat kisah yang sudah terkubur rapat-rapat selama puluhan tahun terkuak. Melalui media sebuah kalung, akhirnya diketahui jika ternyata Cak Lontong, Soimah, dan Sruti adalah bersaudara. Mereka semua adalah anak Butet Kertaredjasa dengan seorang sinden kenamaan di masanya: Ngatijah. Namun kisah kelam membayangi sosok Ngatijah. Di tengah pergolakan tahun 1965, Ngatijah bersama seniman-seniman lainnya dilenyapkan hanya karena mereka menjadi simpatisan partai. Ia dan para seniman lainnya telah menjadi tumbal sejarah bangsa ini.
Setting pun beralih kembali ke kediaman Nyi Sinden Sepuh. Akhirnya Soimah dan Sruti yang awalnya selalu bersaing mengetahui jika mereka kakak-beradik. “Kalian bergembira karena sudah bertemu dengan saudara dan ayah kalian? Jangan tertipu oleh panca indra. Sudah berkumpul dengan saudara namun apa artinya jika tato itu belum kita temukan? Dulu seisi bangsa kita disebut saudara karena senasib. Namun kini nasib warga bangsa ini berbeda-beda,” ujar Nyi Sinden Sepuh. “Benar seperti yang diucapkan oleh Bung Tomo dahulu: ‘Masa depan bangsa ini harus diikat dengan persamaan tujuan, bukan dengan persamaan nasib,’” tambah Nyi Sinden Sepuh. Di tengah wejangan yang disampaikan oleh Nyi Sinden Sepuh, Endah Laras menerima telpon dari sinden legendaris Indonesia, Waljinah. Setelah perut para penonton dikocok dengan beragam adegan lucu, termasuk adegan selfie para sinden, pada momen ini aura haru pun merebak di GBB. Adegan selanjutnya para sinden digambarkan berbincang dengan Waljinah yang saat ini sedang sakit melalui video. Pesinden yang akrab melalui lagu Walang Kekek itu pun menyampaikan nasihatnya kepada para sinden: “Saya minta agar kalian menjadi pesinden yang baik, teruskan perjuangan saya,” tuturnya. Ia pun kemudian melantunkan tembang andalannya, Walang Kekek, yang diteruskan oleh kelima para sinden dengan iringan isak tangis. “Yang kuat, ayo teruskan lagu itu,” pinta Nyi Sinden Sepuh kepada para sinden. “Kalian harus bisa mengolah keluhan menjadi senandung,” pintanya. Sinden dengan rajah memang tidak bisa ditemukan, namun para sinden dapat bertemu dengan Waljinah yang telah memberikan petuah kepada para sinden untuk meneruskan perjuangannya. Dan terlepas dari “bukti-bukti sejarah” yang disampaikan melalui selorohan, pertunjukan ini mengingatkan kita kembali, agar kita harus mengikatkan diri untuk meraih satu tujuan berbangsa dan bernegara. Tak lagi mengikatkan diri karena persamaan nasib yang kian lama kian berbeda satu sama lain.