Artikel: Khairi Rumantati | Foto: Yudika Nababan & Isthi Rahayu
Kursi di gedung teater Ciputra Artpreneur yang berkapasitas 1.300 penonton pada 14 Juni 2015 nyaris penuh oleh para penonton. Mereka sangat antusias ingin menyaksikan pertunjukan langka yang diterbangkan langsung dari Italia, dan konon merupakan pertunjukan satu-satunya di Indonesia. Saat tirai merah dibuka perlahan-lahan, lima penari balet mengenakan gaun berwarna putih pun berputar anggun di atas panggung. Malam itu, total ada tujuh penari dari grup balet asal Italia, Artemis Danza, yang tampil memukau penonton dengan pergelaran yang berdasarkan pada opera legendaris “La Traviata.” Grup yang didirikan oleh Monica Casadei sejak kurang lebih 20 tahun yang lalu ini menginterpretrasikan opera tiga babak karya Giuseppe Verdi dengan tarian kontemporer yang dikombinasikan dengan gerakan balet klasik dan musik opera khas Italia.
Pertunjukan yang juga dihadiri oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, ini juga terbilang istimewa karena bertepatan dengan perayaan 65 tahun hubungan bilateral antara Italia dan Indonesia. Michela Linda Magri, selaku Direktur Istituto Italiano di Cultura Jakarta, menyatakan, “Indonesia dan Italia memiliki sejarah panjang. Pada peringatan tahun ini, kami berbahagia dapat mempertunjukkan cuplikan dari kesenian dan kebudayaan Italia melalui La Traviata.”
“Dari budayalah kita bisa saling mengenal. Melalui pertukaran budayalah kita bisa terus belajar,” ujar Rini Ciputra yang hadir malam itu mewakili sang ayah, Ir. Ciputra selaku pendiri Ciputra Artpreneur. La Traviata sendiri menceritakan tentang kisah cinta Violetta, seorang courtesan, dengan Alfredo, seorang bangsawan muda. Demi cinta, mereka menempuh berbagai rintangan, mulai dari penyakit kronis yang diderita oleh Violetta hingga pertentangan dari pihak keluarga sang pria maupun dari masyarakat. Uniknya, Artemis Danza mempersembahkan pertunjukan La Traviata dari sudut pandang yang berbeda.
“Pertunjukan ini menunjukkan hati Violetta, perasaan Violetta itu sendiri, sekaligus sebagai salah satu bentuk kritik terhadap masyarakat yang hipokrit. Kisah ini bukan cerita cinta biasa, tetapi cerita Violetta dalam konteksnya di masyarakat—masyarakat yang tidak mengizinkannya jatuh cinta karena dia seorang pelacur,” jelas Casadei. “Kematian Violetta bukan sekadar karena penyakit, tapi juga karena hatinya tidak bisa mengekspresikan cintanya. Jadi, pusat pertunjukan ini adalah Violetta, ayah Alfredo—Giorgio Germont, dan masyarakat. Sosok Alfredo sendiri nyaris tidak ditampilkan,” lanjut Casadei. Dalam mengekspresikan pesan ini, ketujuh penari Artemis Danza yang sudah menerima banyak pengakuan publik dari berbagai teater memberikan penampilan terbaik mereka. Dengan alunan lagu opera khas Italia, otot wajah dan tubuh mereka berpadu halus dalam setiap gerakan. Penonton pun dibuat terpana dengan liukan tubuh mereka yang intens dan mendalam selama pertunjukan yang digelar selama hampir dua jam ini.
Di tangan para penari profesional itu, ekspresi ketulusan hati dan peperangan batin yang dialami Violetta dapat terlihat dengan jelas sehingga membuat para penonton ikut terhanyut dalam kesedihannya. “Untuk Artemis Danza saya memilih penari-penari yang profesional. Namun terkadang penari profesional itu kuat dalam teknik, namun kurang bisa mengekspresikan emosi dari suatu peran. Oleh karena itu, saya selalu mendorong mereka untuk bisa mengekspresikan emosi mereka. Jadi tidak hanya bergerak, tetapi penari juga harus tahu apa yang akan disampaikan. Inilah inti kesuksesan kami,” jelas Casadei. Sepanjang pertunjukan para penari dibalut dengan gaun-gaun dan kostum nan indah karya Monica Casadei sendiri yang dibuat dalam tiga warna: merah, putih, dan hitam. Warna memang menjadi bagian penting dari kisah ini, merah mewakili hasrat dan darah, sekaligus menggambarkan hati Violetta yang hancur. Putih untuk keinginan dan harapan Violetta mencapai kemurnian dan pernikahan. Sementara hitam mewakili masyarakat maskulin dan agresivitas. Selain ketujuh penari Artemis Danza, pertunjukan ini juga melibatkan 19 penari remaja Indonesia yang mereka latih dan tampil pada akhir adegan. Maura Munaf, salah satu dari para penari, sangat gembira dapat ikut serta dalam acara ini. “Walau cuma sebentar, tetapi berarti sekali karena bisa belajar teknik koreografi yang asing bagi saya,” katanya. Saat tirai ditutup, penonton bertepuk tangan riuh selama beberapa menit. Melihat antusiasme ini, Michela berkomentar soal kemungkinan untuk mendatangkan Artemis Danza lagi di masa mendatang: “Kenapa tidak? Mungkin enam bulan atau satu tahun lagi Monica akan ke sini lagi.” Ya, kenapa tidak? Rakyat Indonesia pasti tidak akan melewatkan pertunjukan seni yang sangat inspiratif seperti ini.