top of page
Writer's pictureYudika Nababan

Komunitas Jakarta Nyastra Rangkul Kaum Muda Lewat Sajak dan Bait

Artikel & Foto: Akbar Keimas Alfareza

Taman Langsat, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada malam 24 Juli 2015 tampak berbeda dari biasanya. Di bawah siraman lampu taman sayup-sayup terdengar saut-menyaut sajak di tengah derungan mesin metro mini atau pun kendaraan pribadi yang hilir mudik di jalanan Ibu Kota. Menarik perhatian setiap orang yang lewat dengan memecah keriuhan lewat monolog kesunyian yang menyayat hati, komunitas Jakarta Nyastra hadir di tengah masyarakat untuk menuangkan aspirasinya lewat berisan kata yang dipanen satu per satu menjadi seuntai puisi. Mereka berbicara dengan aksara yang sama namun dengan makna berbeda. Bagi komunitas ini sastra hadir sebagai salah satu cabang dari ilmu seni yang mengungkapkan makna kehidupan lewat bahasa. Oleh karena itu, sajak-sajak yang dihadirkan pun ada yang bersifat realis, cerita dari sebuah perasaan, penglihatan, pendengaran, pengalaman dan hal-hal lain yang faktual. Menurut pandangan komunitas Jakarta Nyastra, sastra adalah ilmu tinggi atau sebuah filsafat yang dituliskan. Sastra adalah wadah penghimpun suatu pemikiran, ideologi yang tertuang. Membacakan sajak-sajak dan monolog kesunyian serta disempurnakan dengan musikalisasi puisi mereka coba membahas keadaan sosial, ekonomi, budaya, dan kemanusiaan di negeri ini dengan kajian yang berbeda. Satu demi satu yang hadir menyampaikan kegundahan atau harapan lewat penggalan bait yang sarat makna dalam acara kopi darat perdananya yang mengusung tema “Leburan”.

Komuitas yang bergerak untuk mengapresiasi kesusastraan klasik dan modern ini berpendapat bahwa sastra adalah salah satu anak dari seni dan termasuk cucu dari kebudayaan. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sementara kebudayaan adalah sifatnya, artinya kesatuan dari berbagai sistem dan norma-norma yang dikonvensikan; pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain-lainnya yang tercipta. Kebudayaan dapat melukiskan karakter dan identitas suatu negara. Dengan mencoba untuk terus memperkenalkan kekayaan kesenian dan kebudayaan Indonesia khususnya di bidang sastra, Jakarta Nyastra berharap akan tumbuh nilai-nilai luhur nurani bangsa ini sejujur dan setulus seorang satrawan dalam menulis, karena mereka berpandangan bahwa kesenian adalah salah satu sistem dari kebudayaan yang terbentuk, dan sastra ada di dalamnya. Oleh karena itu, identitas dan karakter suatu negara bisa terlihat juga dari segi kesusastraannya. “Di Jakarta, modernisasi sudah semakin menggurita. Melahirkan kebudayaan western yang mengakibatkan budaya asli perlahan demi perlahan dikunyah sebelum ditelan. Tradisi lama dan sejarah seolah kian pudar setelah diduduki zaman globalisasi ini. Bukan salah pemerintah, bukan salah guru-guru dan para dosen juga. Ini memang sudah alur yang harus dijalani sebagai negara berkembang” Ungkap Fadli Mubarak salah satu anggota Jakarta Nyastra saat diwawancarai Seputar Event. Budaya western seolah memiliki target korban, antara lain; pemerintahan, kebudayan, adat, etika, serta kepekaan masyarakat. Korban utama yang ditaksir mungkin pemikiran para pemuda yang masih gampang menerima dogma-dogma dari luar, sementara pemuda adalah tonggak bangsa, pemerlaku sejarah, dan harta yang sangat berharga bagi setiap bangsanya. Mereka yang tua mungkin sudah bau kencur di mata barat. Seharusnya pemuda menjadi pelopor pergerakan perubahan ke arah yang lebih baik, dan sesungguhnya pelopor itu berarti mereka yang prihatin dan peka dengan suatu issue dan keadaan. Dalam hal ini komunitas Jakarta Nyasta yang terdiri dari generasi muda ingin berusaha terus menggeliat di antara hujaman budaya western yang bertubi-tubi. Jakarta Nyastra meyakini kalau sastra adalah salah satu senjata yang ampuh untuk memberikan dogma-dogma positif yang sesuai dengan norma dan kebudayaan Indonesia.

Di tengah ramainya pergerakan sastra di Jakarta yang sudah ada seperti orang-orang yang sering berdiskusi di TIM, Planet Senen, Salihara, kelompok muda malam puisi, atau kedai buku @post_santa yang sering menyelenggarakan diskusi yang berbau seni dan sastra nampaknya masih hambar rasanya, seperti kopi tanpa gula. Dari cukup banyaknya kelompok tersebut nampaknya masih terlihat kurang dari animo kaum muda. Atau mungkin banyak dari kaum muda yang memandang kelompok seni dan sastra di Jakarta masih cenderung terlihat selektif. Komunitas Jakarta Nyastra nampaknya ingin menjadi bumbu pemanis dengan memanfaatkan modernisasi dan globalisasi yang semakin tidak jinak, dengan diskusi rutin di angkringan, kafe, taman dan juga sosial media sebagai rumah berkembangnya sastra cyber yang kurang mendapat apresiasi. Mereka mencoba untuk menjadi wadah bagi para penulis muda untuk mempublikasikan tulisan dan pikirannya tanpa memandang latar belakang penulis. Bagi teman-teman muda yang ingin bergabung dengan komunitas Jakarta Nyastra dapat mengikuti sosial media di laman twitter @jakartanyastra atau pun official line : Jakartanyastra.

200 views0 comments
bottom of page