Sore menjelang malam, di tengah hiruk pikuk lalu-lintas Jakarta, paling tepat jika kita menepi sejenak untuk menikmati alunan musik nan menghibur. Seperti yang dilakukan oleh reporter Seputar Event, yang tak ingin turut berebut jalanan dengan ribuan kendaraan lain di jalanan Jakarta dan lebih memilih untuk menikmati sore dengan menyaksikan penampilan M° Alessio Monti, seorang maestro gitar asal Italia. Penampilan istimewa tersebut dipersembahkan oleh Pusat Kebudayaan Italia Jakarta, Istituto Italiano di Cultura Jakarta (IIC Jakarta), yang terletak di bilangan Menteng, Jakarta Selatan. Event yang digelar pada 27 Agustus 2015 tersebut diberi tajuk “The Guitar. A Journey Between the Past and The Future.” Wah, saya jadi bertanya-tanya mengapa sang maestro gitar yang kini tinggal di Thailand tersebut mengangkat tema yang cukup unik itu. Acara dibuka dengan sambutan dari sang tuan rumah, Michela Linda Magri, selaku Direktur IIC Jakarta. Lalu tak berapa lama, seorang lelaki dengan rambut sebahu berjalan memasuki ruang acara sembari menenteng sebuah gitar yang cukup unik. Ya, terbilang unik karena pada kepala gitar terdapat dua buah batok kelapa yang diselipi beberapa buah garputala.
Ia membuka pertunjukan pada malam tersebut dengan komposisi Anonimo Italiano XVI Secolo: Sei Danze per Liuto yang ia aransemen ulang dan disusul oleh 4 Canzoni d’Amore Italiane. Tiap-tiap komposisi yang usai ia bawakan disambut dengan tepuk tangan nan meriah dari penonton yang memadati auiditorium IIC Jakarta. Tampaknya, banyak warga Jakarta yang mengagumi permainan gitar sang maestro yang juga mengajar di Departemen Musik Payap University di Chiang Mai, Thailand, ini. Karena kursi yang berjejer rapi di auditorum penuh tak bersisa, sehingga beberapa di antara penonton harus duduk di kursi “darurat” yang disediakan oleh panitia.
Setelah rehat, Alessio Monti kembali lagi dengan nuansa musik yang berbeda dengan sesi pertama. Diawali dengan Fandanguillo karya J. Turina, Asturias karya J. Albeniz, serta Danza del Altiplano dan Elogio de la Danza karya L. Brouwer. Pertunjukan malam itu pun ditutup dengan dua komposisi karya sang maestro, After Silence, yang ia persembahkan untuk mengenang musibah gempa bumi di Nepal dan yang terakhir adalah La Foresta di Gokarnath, sebuah komposisi yang ia tulis berdasarkan sebuah buku mengenai hutan Gokarnath di India yang sangat menginspirasinya.
Ketika ia menyelesaikan performance-nya, baru terlihat mengapa ia memilih tema “The Guitar. A Journey Between the Past and The Future” untuk pertunjukannya malam itu. Karena di sesi pertama ia memainkan lagu-lagu Italia yang diciptakan di zaman renaisans, sedangkan pada sesi kedua ia memainkan lagu-lagu populer dan kontemporer. Tak sekadar piawai dalam memetik dawai gitar, ternyata Alessio Monti juga memiliki pesan mulia di balik musik yang diciptakannya. “Melalui lagu-lagu yang saya bawakan saya ingin menyampaikan sebuah pesan. Saya seringkali membawakan lagu klasik namun tak jarang juga membawakan lagu-lagu milik Jimi Hendrix. Hal itu menunjukkan jika di dalam musik, bermacam gaya bisa berjalan beriringan. Yang coba saya sampaikan adalah, ketika musik saja bisa berdampingan, mengapa manusia tidak? Tak peduli dari mana asalnya, agamanya, kaya ataupun miskin, kita semua bisa ‘berjalan bersama.’ Musik saya berbicara mengenai persahabatan antara kultur yang berbeda-beda.” Begitu kira-kira yang ia tuturkan saat diwawancarai oleh reporter Seputar Event.
Wah, ternyata tak sekadar bermusik, Alessio Monto pun memiliki misi yang cukup mulia untuk menumbuhkan kedamaian dan kebersamaan di muka bumi ini. Bravo Signor Monti, what a great performance! Till we meet again in Jakarta.