Panggung sejarah Indonesia mencatat bila kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hasil dari pergerakan para kaum intelektual. Mereka adalah para bapak bangsa (founding father) yang membuka mata dan menggerakan rakyat untuk bersatu atas perasaan senasib sebagai bangsa yang dijajah. "Sejarah ditulis oleh para pemenang" adigium inilah yang coba dipertegas oleh Teater Indonesia Kita lewat pementasan "Datuk Bagindo Presiden" pada 28 & 29 Agustus lalu di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Faktanya, kemerdekaan Indonesia dicapai berkat kontribusi besar para bapak bangsa asal Minang, ingatkah Anda dengan nama-nama besar seperti Hatta dengan sistem ekonomi kerakyatannya, Tan Malaka dengan Madilog-nya, Sjahrir dengan politik luar negerinya atau Agus Salim dengan Sarekat Islamnya? Sebenarnya sejarah mencatat dengan sumbangan pemikiran sebesar itu, banyak kesempatan bagi para tokoh Minang untuk duduk di kursi orang nomor satu di negeri ini, sayang di antara mereka tidak satu pun menduduki kursi kepresidenan yang selalu didaulat oleh Jawa sentris. Memasuki babak orde baru, kaum intelektual Minang seolah meredup baik di panggung politik atau pun pergerakan. Program ke-17 Indonesia Kita besutan Bre Redana, Butet Kertaredjasa dan Agus Noor ini mengajak para penonton mengenang dan meminang ‘Minang’ untuk Indonesia lewat kebudayaan. Dalam mengenang Minang tentu tidak bisa dilepaskan dari ingatan kita akan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sosok Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Agus Salim, Buya Hamka, dan di masa sekarang Buya Syafii Maarif, mereka merupakan tokoh nasionalis asal Minang yang memiliki sikap kebangsaan dan religi yang kental. Mereka memiliki akar kultural dan pendidikan agama yang kuat, dan terus bertumbuh menjadi pemimpin yang menghargai sikap kebangsaan dalam konteks pluralisme di Indonesia. Inilah tema yang diangkat yaitu meminang kembali cendikiawan dan budayawan Minang agar kembali berdiri di barisan terdepan dalam membangun wawasan kebangsaan, ketika pluralisme dan radikalisme terasa semakin kuat. Pementasan ini juga secara tajam mengupas intelektualitas dan perjuangan para bapak bangsa asal Minang, yang tampil di gelanggang politik tanpa ambisi kekuasaan, uang atau pun wanita. Kehadiran mereka adalah untuk mencapai cita-cita dan gagasan besar bangsa Indonesia Bagaimana dengan tokoh penguasa dan politikus Indonesia saat ini? Masihkah terlahir tokoh intelektual Minang yang baru, dalam gerusan zaman dan modernisasi yang menghanyutkan, dengan sistem penjajahan gaya baru yang ditunggangi kepentingan politik dan kekuasaan?
Mencoba memahami kembali Indonesia sebagai sebuah proses panjang berbangsa dan bernegara melalui jalan kesenian dan kebuayaan, Teater Indonesia Kaya menggandeng sejumlah seniman besar, khususnya asal Minang untuk berkolaborasi dalam pementasan kemarin. Jajang C. Noer, Lukman Sardi, Nirina Zubir, M. Fadhli Wayoik, Buset, Tommy Bollin, Titis Silva, Rancak Voice dan Sa’andiko. Para Seniman asal Minang tersebut berkolaborasi dan beradu akting secara apik dengan para komedian ternama seperti Cak Lontong, Akbar serta Trio Gam. Sajian musik lakon ini menampilkan kekhasan budaya Minang yang terasa kental hasil buah tangan komposer Yaser Arafat dan dipercantik dengan kulikan gitaris rock legendaris Ian Antono. Pementasan yang digelar tepat pukul 20.00 WIB ini secara garis besar menceritakan munculnya harapan baru ketika seorang Presiden dari Minang muncul. Ia memenangkan pemilihan karena dicintai rakyat. Ia dikenal jujur dan sederhana. Tapi persoalan dalam politik rupanya tidak sesederhana yang ia sangka, karena ia dikelilingi bermacam kepentingan. Para staf kabinet, para menteri, dan birokrat yang ada disekitarnya, ternyata membawa kepentingannya masing-masing. Pada suatu kesempatan, Presiden ini pulang kampung untuk menjumpai ibunya. Ia disambut meriah dan penuh kebanggaan, tetapi sang ibu menyambut dengan biasa dan sederhana. "Saya sudah jadi Presiden, Mak" katanya.
"Ah, jadi sekarang gelarmu Presiden? Gelar itu semestinya panjang, jangan cuma Presiden. Apa hebatnya kalau cuman bergelar Presiden, mestinya kau bergelar Datuk Bagindo Presiden." imbuh sang Bunda.
DI kampunya Datuk Bagindo Presiden mulai melihat banyak kenyataan pahit. Kampungnya tampak masih terbelakang, miskin dan banyak persoalan sosial. Program yang dijalankan pemerintah setempat tidak pernah berhasil karena selalu diselewengkan oleh bawahannya. Presiden pun memutuskan untuk tak sekadar blusukan, tetapi menyamar layaknya Khalifah Umar Bin Khatab: menemui rakyatnya dan menanyakan persoalan hidup mereka untuk menyelesaikannya. Semua itu dilakukan dengan menyamar. Apa yang dilakukan Datuk Bagindo Presiden mencemaskan orang-orang disekelilingnya yang korup. Mereka pun berusaha menghentikan penyamaran, melakukan banyak intrik, agar kegiatan menyamar itu tidak gagal. Sementara itu bayang-bayang Hatta selalu hadir dalam kegelisahan Datuk Bagindo Presiden, mengingatkan tentang budaya yang selalu dijunjung suku Minang untuk tidak pernah mengemis pada kekuasaan. Bilamana kekuasaan itu hadir maka jangan pernah mendurhakai rakyat, layaknya anak tidak mendurhakai ibundanya. Pementasan ini mencoba memotret perjuangan moral di tengah sistem dan lingkungan yang telah sedemikian korup. Hadir dengan menafsirkan ulang makna kepemimpinan dalam lingkaran kekuasaan yang penuh politisasi yang dikemas secara satir, pementasan diperkaya unsur seni tradisional khas Minang. Beragam unsur yang berbau Minang ditampilkan dengan apik mulai dari cerita, dialog, tari, dendang, pepatah-petitih, musik hingga unsur gerak silat. Selain menyajikan rangkaian cerita yang dikemas satir dan mengocok perut, pementasan ini juga diwarnai kolaborasi tari dan teatrikal yang membuat Anda tercengang. Kolaborasi ini merupakan hasil gubahan Alfiyanto Wajiwa, koreografer dan art director WajiWa Bandung Dance Theater. Pada pementasan ini Alfiyanto bersama timnya yang tergabung pula di Yayasan Rumah Kreatif WajiWa mengembangkan beragam seni tradisional asal Minang dengan lebih kontemporer.