Komunitas Tari FISIP (KTF) Universitas Indonesia Radha Sarisha yang terbentuk tahun 2008 menggelar pagelaran tari bertajuk “Mataya Vidhyadhari” di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pagelaran ini adalah “pamitan” KTF UI Radha Sarisha yang pada Oktober 2015 mendatang akan bertolak ke Malaysia untuk tampil dalam Indonesian Cultural Night di University Sains Malaysia. Mataya Vidhyadhari bermakna menari berjuta cerita, merupakan sebuah pagelaran tari dan musik yang mengisahkan kehidupan seorang gadis dari keluarga terpandang, seorang yang menjadi harapan keluarga, dituntut berperilaku dewasa dan menjaga adat istiadat sukunya. Namun, secara tidak diduga ia justru tumbuh menjadi seorang gadis dengan hasrat dan karakter yang berbeda dari masyarakat pada umumnya. Keinginan terbesarnya adalah memperjuangkan kebebasan berekspresi, ia percaya bahwa perbedaan seharusnya muncul sebagai sebuah kekayaan, bukan untuk dimusnahkan. Ironisnya, bukan penerimaan yang ia dapatkan melainkan konflik yang membuatnya semakin terpuruk dan berujung kepada maut. Pada 5 September 2015, pagelaran tari berdurasi sekitar 120 menit ini KTF UI mengkolaborasikan tari tradisional dengan tari modern atau kontemporer. Dibuka dengan Tari Randai asal Minang, Sumatra Barat, tarian ini ditampilkan berkelompok dengan formasi membentuk lingkaran, mengkombinasikan gerakan kaki yang diiringi tepuk tangan dan nyanyian dengan menggabungkan seni musik, tari, drama dan pencak silat. Tarian ini sarat akan pesan dan nasihat tentang kehidupan lelaki Minang yang teratur dan sangat mengikuti adat istiadat yang berlaku turun temurun. Tari Piring Sofyani yang berasal dari rumpun yang sama yaitu Sumatra Barat menjadi pertunjukan berikutnya. Tari ini menggambarkan pergaulan yang indah, ceria dan sangat dinamis, sebuah rasa kebersamaan satu dengan lainnya. Menuju pertengahan cerita, Tari Haraneswara pun ditampilkan. Tarian yang mengadaptasi tari Jaipong Jawa Barat ini menceritakan sekelompok wanita yang sedang asyik bermain dan menari bersama secara lincah. Tari ini juga menggambarkan gadis-gadis jelita yang memaknai hakekat mereka sebagai seorang perempuan yang selalu menjunjung tinggi adat istiadat dan budayanya. Pada tarian inilah diceritakan awal konflik sang gadis dengan perempuan sebayanya. Sebagai klimaks, disajikan sebuah tarian yang berjudul tari Kontemporer Terkungkung yang menggambarkan usaha sang gadis yang ingin memperoleh kebebasan berekspresi namun ditentang oleh lingkungannya. Merasa kecewa dan depresi, gadis ini kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
top of page
Search
bottom of page