Yogyakarta, atau biasa disebut Jogja, merupakan sebuah kota di Indonesia yang terkenal sebagai kota Pelajar, Kota Budaya dan kota yang mempunyai daya tarik tersendiri. Dengan populasi Kota Jogja mencapai 400.000 jiwa, tentunya tiap penduduk mempunyai pandangan uniknya sendiri tentang kotanya. Oleh karena itu selama dua hari, sejak 31 Oktober 2015 di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta digelar sebuah pertunjukkan berjudul 100% Yogyakarta yang menampilkan 100 warga Yogyakarta dari segala lapisan masyarakat, mulai balita hingga seorang nenek berusia 90 tahun. 100% Yogyakarta' bertujuan untuk menawarkan perspektif yang segar tentang Yogyakarta dan mengundang penonton berefleksi atas kenyataan-kenyataan sehari-hari kota mereka. Pendekatan yang tak biasa ini telah sukses diterapkan di kota-kota besar dunia lainnya seperti Berlin, Vienna, Zurich, London, Tokyo dan Melbourne. Pertunjukkan yang dimulai pukul 19:30 WIB ini diwujudkan bersama oleh Rimini Protokoll dan Teater Garasi, merupakan rangkaian kegiatan Jerman Fest yang tahun ini dilaksanakan di Indonesia. Sesuai judulnya, pertunjukkan ini ingin menampilkan potret kota Yogyakarta masa kini melalui pandangan 100 warganya yang merupakan representasi demografi Yogyakarta. Ke-100 orang ini menampilkan wajah Yogyakarta melalui angka, statistik, dan hubungan-hubungan antar pribadi, sehingga menciptakan kaleidoskop kota Yogyakarta. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Umar Priyono, pada pertunjukkan ini akan terlihat keunikan 100% YK yang mengangkat pandangan warga Yogyakarta terhadap masyarakat, lingkungan sekitar, dan pemerintah. “Warna indah Yogyakarta akan ditambah dengan kegiatan malam ini” demikian pungkasnya. Sementara itu, menurut Heinrich Blömeke dari Goethe Institut Indonesia yang mewakili pihak Jerman Fest, Rimini Protokoll menggagas pertunjukkan ini secara interaktif tapi melalui teknik yang tidak biasa terhadap publik. “Sehingga tak hanya mengangkat dan menyuguhkan isu-isu publik, tapi juga berinteraksi dengan isu-isu publik tersebut.” jelasnya dalam sambutan berbahasa Inggris. Berpijak dari hal tersebut, 100 warga yang ditampilkan tidak memiliki latar belakang teater, sehingga potret Yogyakarta dalam pertunjukan ini tampil apa adanya. Pentas diawali dengan satu persatu aktor mendeskripsikan dirinya sendiri secara singkat, 100 aktor selanjutnya memainkan teatrikal tentang kehidupan Yogyakarta setiap jamnya dalam sehari. Diiringi latar suara seperti adzan dan keramaian lalu lintas, mereka menggambarkan aktivitas sekolah, beribadah, bekerja, jalan-jalan, makan, tidur dan dugem. Panggung yang minimalis dan hanya berlatar sebuah lingkaran cahaya yang merefleksikan adegan dan realita Yogyakarta, membuat penyampaian pesan 100 orang tersebut sangat mengena. Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan menggelitik seputar kehidupan dan masalah sosial. “Apakah kamu penah menyuap polisi saat kena tilang?”. “Siapa yang menganggap seks bebas adalah hal wajar?”. “Siapa yang pernah mencoba narkoba?”. Hasilnya banyak di antara mereka yang menyuap polisi, beberapa menganggap seks bebas wajar dan tak sedikit yang pernah mencoba narkoba. 100 orang tersebut juga menanggapi pertanyaan-pertanyaan isu isu lokal di kota Jogja, seputar politik dan kemasyarakatan seperti perlakuan terhadap pendatang dari Indonesia timur di Yogyakarta, pemilihan gubernur langsung, dana keistimewaan hingga kebutuhan ruang publik. Ada pula sesi open mic, yaitu para warga mendapat kesempatan melontarkan pertanyaan-pertanyaan spontan, misalnya tentang tanggung jawab pengusaha terhadap lingkungan, pernikahan sejenis, sampai pada soal kepemimpinan di Yogyakarta. Di sisi lain, antusiasme masyarakat untuk dapat menonton pertunjukkan ini juga tinggi, ini terlihat dari tiket untuk dua hari pertunjukkan ini telah ludes dipesan sekitar seminggu sebelum hari pertunjukkan, dengan total jumlah penonton selama dua hari pertunjukkan ini mencapai lebih dari 2500 orang, belum termasuk para penonton yang menyaksikan melalui screen yang dipasang di luar lokasi pertunjukkan.
top of page
bottom of page