Sebuah kolektif karya terbesar di Nusantara lewat sebuah pameran yang dikurasi oleh tujuh kurator, yaitu Jakarta Biennale 2015 telah resmi dibuka Sabtu lalu, 14 November 2015 di Gudang Sarinah, Jakarta. Program acara ini terdiri atas sebuah pameran besar, symposium, akademi dan serangkaian proyek komunitas. Proyek seni yang bertajuk “Maju Kena Mundur Kena” mengacu pada gagasan untuk berkonsentrasi pada masa kini sembari menolak untuk memanjakan diri dalam nostalgia atau melarikan diri menuju mimpi masa depan yang utopis. Dengan semangat itu, karya-karya yang dikuratori adalah karya yang berfokus pada kondisi ekonomi, sosial, dan emosional masyarakat saat ini. Jakarta Biennale ingin membingkai bagaimana warga di berbagai kota dan lingkungan hidup bersikap terhadap masa sekarang lewat tindakannya. Beberapa tema yang kuat diangkat dalam pameran dengan menghubungkan karya-karya yang berbeda. Yang pertama adalah penggunaan dan penyalahgunaan air sebagai kebutuhan dasar kehidupan dan juga sesuatu yang mengancam lewat banjir dan polusi. Aspek penting lain pameran ini adalah ketertarikan tentang bagaimana sejarah memiliki dampak atas hari ini, melalui ingatan dan tradisi yang mempengaruhi cara orang berperilaku hari ini. Karakter ketiga adalah pengaruh peran gender yang berlaku dan bagaimana individu-individu berjuang untuk menemukan suara mereka sendiri. Isu kekerasan yang berhubungan dengan hal itu juga diangkat melalui aplikasi dalam ragam karya yang ditampilkan baik berupa mural, video, atau pun seni kriya. karya-karya yang diangkat merupakan gambaran atas kemenangan kecil yang dialami orang-orang dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah kesulitan. Pameran tersebut menampilkan hasil karya 40 seniman Indonesia dan 30 seniman internasional. Beragam tema dirajut dalam pameran mengambil wujud sebagai karya “kampung-kampung” kecil dalam Gudang Sarinah yang luas. Jakarta Biennale juga menggabungkan seniman muda dan seniman yang lebih mapan. Dalam gelarannya akan dilaksanakan pula simposium selama hari-hari pertama dan akademi singkat selama dua minggu yang terbuka bagi peserta yang mengirimkan aplikasi; dilengkapi dengan kehadiran mahasiswa-mahasiswa internasional dari sekolah-sekolah seni di Eropa. Proyek-proyek di luar lokasi utama juga turut menjadi bagian acara dan dilaksanakan dengan mengikuti kerja-kerja komunitas untuk merevitalisasi kawasan di sekitar Sungai Ciliwung yang selalu menjadi wilayah banjir, juga di luar Jakarta, yaitu Surabaya, Aceh, dan Makassar. Dalam gelaran prmbukaannya pun Jakarta Biennale 2015 turut mengemasnya dengan apik, White Shoes dan Sentimental Moods mewarnai kemeriahan pameran yang akan berlangsung hingga 17 Januari 2016 mendatang dengan tampil atraktif di atas panggung sambil menyerukan gerakan revitalisasi kota lewat seni.