Pada 17 November 2015, program publik dari Jakarta Biennale 2015 tengah memasuki hari kedua. Sebuah simposium bertajuk “MANA BISA TAHAN: Tentang Kesenjangan dan Kebersamaan” diselenggarakan di Gudang Sarinah, Pancoran Timur, Jakarta Selatan. Simposium tersebut tidak hanya menghadirkan pakar dari Indonesia, tetapi juga pakar seni dari luar negeri. Kondisi ekonomi, sosial, dan emosional masyarakat yang dibahas oleh para seniman Jakarta Biennale tahun ini terfokus kepada tiga isu besar, yakni air, sejarah, dan gender. Oleh karena itu, simposium “MANA BISA TAHAN: Tentang Kesenjangan dan Kebersamaan” juga tidak terlepas dari isu tersebut. Presentasi pertama dalam simposium tersebut diberikan oleh Claudia Schouten asal Belanda. Ia adalah salah satu pendiri local movement yang dinamakan dengan Motel Spatie. Motel Spatie adalah ruang proyek untuk menciptakan formasi-formasi dari sebuah otonom dan urbanisme DIY (Do It Yourself) yang selalu menanyakan pertanyaan penting, “Who owns the city?”. Claudia menyatakan bahwa beberapa pameran-pameran seni yang ia ciptakan bersama komunitasnya adalah pameran ilegal yang menggunakan ruang publik. Hal tersebut ia lakukan untuk membuat laboratorium seni kontemporer terhadap masyarakat. Gerakan yang ia lakukan tersebut menjadi bagian dari sejarah seni kontemporer di Belanda, khususnya di Presikhaaf. Selain presentasi mengenai Motel Spatie yang membahas tentang pencatatan sejarah seni, presentasi kedua juga membahas isu selanjutnya, yakni air. Dalam presentasi ini, Jakarta Biennale menghadirkan Gatot Subroto dari Paguyuban Warga Strenkali, Surabaya, Bik van der Pol asal Belanda, Dieneke Jansen asal Selandia Baru, dan Clara Ianni asal Brazil. Presentasi tersebut membicarakan tentang seni yang digunakan untuk menjaga sungai Strenkali, Surabaya, dan untuk menyuarakan penduduk-penduduk pinggiran kali yang ilegal. Untuk mengatasi problem tersebut, Lifepatch bekerja sama dengan Paguyuban Warga Strenkali Surabaya untuk melakukan solusi water-filter bagi warga. Sebuah prototipe water refiner dibuat oleh para seniman dan dipajang di Gudang Sarinah dalam rangka Jakarta Biennale 2015. Simposium terakhir pada hari itu diberikan oleh Ute Meta Bauer asal Singapura/Jerman. Bauer adalah founding director dari Centre for Contemporary Art di Nanyang Technological University, Singapura. Ia juga merupakan profesor seni dari Nanyang Technological University’s School of Art, Media and Design sejak tahun 2013. Selain itu, Bauer adalah seorang Associate Professor untuk Seni Rupa di Massachusetts Institute of Technology. Dalam Jakarta Biennale 2015, Bauer mempresentasikan tentang hubungan gender dengan seni. Dalam presentasi tersebut ia mencoba untuk menemukan korelasi antara gender, seni, dan dampaknya terhadap komunitas sekitar. Selain simposium, pada tanggal 17 November tersebut, Jakarta Biennale juga mengadakan lokakarya seniman, Dan Perjovschi, dan juga presentasi proyek YARN BOMBING oleh Qui-Qui asal Makassar.