“Dance is the hidden language of the soul” – Martha Graham Agaknya, masyarakat dan pemerintah Indonesia belum bisa melihat potensi yang terdapat dalam diri balerina dan penari kontemporer Indonesia. Tidak hanya tarian balet dan kontemporer, kompetisi tari secara khusus pun tidak terlihat di layar kaca rakyat Indonesia—yang ada hanya ajang kompetisi adu bakat campur aduk dengan bakat-bakat lainnya. Artinya, selera pasar tidak melihat urgensi ekspresi diri melalui tarian. Padahal, umumnya tarian yang berasal dari negeri Eropa tersebut menjadi salah satu cara mengekspresikan diri secara bebas. Berbeda dengan negara-negara maju lainnya, kompetisi tari balet, kontemporer, hip hop, maupun tradisional telah diakui dan dapat menjadi acara bergengsi sendiri yang memikat hati penonton. Dance Prix Indonesia 2016 menjadi pendobrak kompetisi balet dan tari kontemporer di Indonesia. Dengan didukung kedutaan Belanda dan studio-studio yang berasal dari Singapura, Korea, Amerika, dan Belanda, Dance Prix Indonesia 2016 memberikan hadiah paling menarik bagi penari-penari berpotensi tersebut; kesempatan bersekolah tari di negeri pengembang tari balet. Dance Prix Indonesia telah memasuki tahun yang kedua. Pada tahun 2016 ini, acara tersebut diselenggarakan di dua kota terbesar di Indonesia, yakni Jakarta dan Surabaya. Adapun kandidat kompetitor yang datang untuk unjuk gigi berasal dari Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Juliana Tanjo—penyelenggara Dance Prix Indonesia—mengundang enam juri internasional untuk ditempatkan masing-masing tiga di tiap kota. Natalie Caris dari Dutch National Balet, Brian Yoo dari Universal Ballet Korea, dan Janek Schergen asal Singapore Dance Theatre menjadi juri untuk acara di Jakarta. Adapun Ong Long dari Singapore Ballet Academy, Leticia Foetisch dari West Ballet & San Francisco Ballet, dan Jessica Christina dari T.H.E Dance Company akan menjadi juri untuk ajang di Surabaya.
Kompetisi di Jakarta telah menghasilkan 18 pemenang dari enam kategori, yakni Junior 8—11 tahun, Junior 12—15 tahun, Pre Senior 16—19 tahun, dan Senior 20 tahun ke atas. Penari-penari dari kategori Junior 12—15 tahun siap disekolahkan ke Amsterdam dan Singapura setelah meraih kemenangan di Dance Prix Indonesia 2016 tersebut. Mereka adalah Soraya dan Dwigdi. Nama dance prix sendiri tidak hanya digunakan di Indonesia. Lazimnya, kompetisi khusus menari di luar negeri juga menggunakan nama dance prix, seperti Stadt Biberach Dance Prix dan Dance Grand Prix Europe. Akan tetapi, tentu tujuan yang ingin dicapai dari setiap dance prix tersebut tidaklah sama. Terutama karena dance prix lainnya diselenggarakan di negara maju yang telah mengapresiasi tari balet dan kontemporer. Stadt Biberach Dance Prix misalnya, diselenggarakan oleh kota Biberach yang terletak di selatan Jerman. Tentunya, acara tersebut diadakan untuk menjual turisme dan meningkatkan minat seni/budaya kota tersebut. Berbeda dengan Dance Prix Indonesia yang memang sengaja dibuat untuk menyediakan wadah bagi penari-penari balet dan kontemporer untuk bisa lebih terlihat di masyarakat, sekaligus mengembangkan potensi mereka dengan mengirim mereka ke luar negeri untuk belajar secara serius. Pada tahun 2015, Dance Prix Indonesia memiliki kategori jenis tarian yang lebih beragam. Di dalamnya terdapat substansi hip hop dan tap. Akan tetapi, kategori tersebut akhirnya dikerucutkan kepada tari balet dan kontemporer saja. Juliana Tanjo, yang juga adalah pendiri Indonesia Dance Society, mengakui bahwa belum ada institusi di Indonesia yang menggerakkan potensi penari balet sehingga para penari tersebut hanya belajar di sekolah. Tari balet di Indonesia pun menjadi tertinggal, jika dibandingkan dengan Singapura atau bahkan negeri Eropa. Untuk menghentikan ketidakacuhan tersebut akhirnya Dance Prix Indonesia 2016 kembali diadakan. Dance Prix Indonesia menyediakan wadah bagi penari balet dan kontemporer untuk mengekspresikan diri mereka di panggung dan mendapatkan kesempatan untuk bersekolah di negeri Eropa.