Sakti Aktor Studio (SAS), pada tanggal 22--23 April, menampilkan sebuah pertunjukan teater yang menyerempet isu sosial yang mutakhir. Pertunjukan tersebut ditampilkan pada setiap pukul 20.00 di Teater Komunitas Salihara. Lakon tersebut menampilkan aktor-aktor siswa dan alumni sekolah akting SAS. Isu sosial yang diangkat adalah tentang ketabuan kehidupan pasangan gay. Baru-baru ini, masyarakat banyak mengangkat permasalahan tentang LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) dan menuai pro-kontra di tengah kehidupan sosial. The Many Taboos of Being Gay--judul dari pementasan tersebut--menampilkan empat lakon pendek atas dasar kebutuhan berkesenian dan berkebudayaan. Sedikit banyak, pementasan ini bermaksud untuk mempertanyakan eksistensi kaum homoseksual di tengah kaum heteroseksual.
Sutradara mengakui bahwa pementasan The Many Taboos of Being Gay telah diperbolehkan tampil di Salihara sejak tahun 2015. Artinya, pementasan ini sudah dipersiapkan sebelum akhirnya isu tentang LGBT kembali mencuat di mata dan telinga masyarakat. Tidak ada maksud untuk menjadikan orang-orang pro atau kontra terhadap LGBT lewat pertunjukan ini. Pasalnya, kesenian dapat diinterpretasikan secara bebas oleh orang-orang yang menikmatinya. Hal tersebut juga menunjukkan konsistensi Komunitas Salihara untuk mendukung masyarakat agar merasa terbuka terhadap karya seni; bahwa seni dapat mengekspresikan pikiran dan perasaan.
Berkaitan dengan pikiran dan perasaan, pementasan ini juga menunjukkan kaitan rasa dan pikiran. Bukan keintiman seksualitas yang paling utama ditunjukkan dalam keempat lakon The Many Taboos of Being Gay. Meskipun, tidak dapat dipungkiri pula, karya-karya pendek yang dimainkan juga dapat mengedukasi masyarakat tentang studi seksualitas yang kurang terekspos di Indonesia. Akan tetapi, dalam lakon tersebut terefleksikan keintiman yang mengejawantah sebagai pikiran dan perasaan yang menguat karena muncul berbagai masalah di hadapan kaum homoseksual.
Menjadi gay banyak tabunya. Apakah kita, kaum heteroseksual, yang menganggap diri “normal”, masih saja berusaha menyulitkan mereka? Tulis sutradara dalam buku panduan acara. Eka D. Sitorus—sutradara—menyuguhkan permainan pemaknaan eksistensi kaum homoseksual dengan menunjukkan “ketabuan”. Ketabuan yang diserahkan untuk dimaknai bukanlah ketabuan menurut pendapat umum—yang selama berabad-abad terpengaruh doktrin perkembangbiakkan kaum heteroseksual. Akan tetapi, ketabuan tersebut terjadi antarjalinan pasangan homoseksual. Permasalahan yang dimunculkan adalah masalah hubungan kekasih, bukan masalah perbedaan ideologi dengan masyarakat. Seperti contoh, dalam pecahan lakon “Sweet Hunk O’Trash” terdapat permasalahan peran jender antara sepasang kekasih gay; bahwa dalam jalinan cinta, peran perempuan dan laki-laki memang dibutuhkan. Selain itu, dalam “Uncle Chick”, lakon menepis pandangan masyarakat yang berasumsi bahwa pasangan inses selalu disebabkan oleh libido individu yang lebih tua. Terdapat empat lakon pendek dalam pementasan The Many Taboos of Being Gay, yakni “Sweet Hunk O’Trash”, “Twenty Dollar Drinks", “Frozen Dog”, dan “Uncle Chick”. Semua lakon tersebut disutradarai oleh Eka D. Sitorus dan diperankan oleh aktor-aktor dari SAS; Rangga Djoned, Albert Halim, Alfian Phang, Andrew Suleiman, Reza Nangin, dan Yoga Arizona. Semua lakon yang dipilih merupakan karya dari Joe Pintauro, kecuali naskah “Sweet Hunk O’Trash” yang ditulis oleh Eric Lane. Sang sutradara ingin menunjukkan sisi kehidupan kaum homoseksual yang terlihat begitu berat dan resistensinya di hadapan masyarakat begitu kuat. Selain karena naskah yang dipilih merupakan naskah saduran, Eka, yang sempat mengenyam pendidikan di American Academy of Dramatic Art, California State University, dan Warwick University, memang menunjukkan kekentalan pengaruh Barat dalam lakon-lakon tersebut. Akting dari para aktor Sakti Actor Studio dapat dikatakan sangat baik. Meskipun mereka memang mendapat pengaruh kental dari akting sebagai aktor film. Akan tetapi, beberapa menunjukkan teknik yang baik dalam berteater, baik dari sisi olah suara maupun gestur, sedangkan beberapa lainnya masih dapat dipoles lebih jauh lagi. Sementara itu, bantuan volume vokal harus diberikan dengan meletakkan kondensor dengan begitu dekat. Akan tetapi, peletakan ulang tersebut dapat mengeraskan suara blackmen yang menaruh properti di atas panggung. Ditambah lagi jarak antara panggung dengan penonton tidak begitu jauh sehingga bisikan-bisikan para blackman dapat terdengar. Memang kemampuan berakting (mimik dan gimik) yang paling menonjol ditampilkan.
Pementasan ini diharapkan dapat menjadi sarana edukasi dan ekspresi kebebasan seni, terutama tentang studi seksualitas, tanpa harus berdebat tentang pro dan kontra dalam pandangan masyarakat.