Jelang malam tanggal 29 April 2016, semua kru manajemen dan artistik dari Teater Pagupon terlihat begitu sibuk menyiapkan semuanya. Pasalnya, pada pukul 19.30 mereka harus menyajikan penonton sebuah pementasan teater di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Kali ini, karya yang dipilih juga tidak main-main; Sumur Tanpa Dasar karya Arifin C. Noer. Jika seseorang pernah duduk di bangku semester dua mata kuliah Pengkajian Drama Indonesia, naskah tersebut diimbau agar jangan dijadikan makalah pendek. Memang naskah tersebut adalah naskah yang sulit, dilihat dari pembahasan eksistensi di dalamnya. Naskah Sumur Tanpa Dasar tidaklah seabsurd karya-karya dari Iwan Simatupang. Akan tetapi, untuk mementaskannya, dibutuhkan pemahaman terhadap setiap kata yang dituliskan oleh Arifin C. Noer. Magis, adalah definisi untuk susunan kata dalam naskah Sumur Tanpa Dasar. Lembaran-lembaran terus dibuka, didasari atas rasa penasaran, ketika seseorang membaca karya tersebut. Obrolan Jumena Martawangsa tentang kematian sungguh dapat menggugah pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai makna kehidupan. Oleh karena itu, salah sedikit saja dalam proses ejawantahnya ke sebuah pementasan dapat membuat naskah ini mati. Mati layaknya susunan kalimat tak penting yang dilewatkan begitu saja di dalam buku. Adalah usaha yang patut diacungkan jempol, untuk teater kampus mencoba memainkan Sumur Tanpa Dasar di Graha Bhakti Budaya. Berani dan nekat. Teater yang berarti rumah burung dara ini memang sudah agak lama tidak pentas di luar kampus. Terakhir kali mereka melakukan pementasan di luar area kampus adalah di tahun 2014, mereka pergi ke Gedung Kesenian Jakarta untuk mementaskan naskah berjudul Samsara. Kali ini, seperti terburu-buru mengulang momen tersebut kembali, para burung dara terbang menuju Taman Ismail Marzuki. M. Yoesoev--sutradara pementasan ini--adalah dosen sekaligus pendiri Teater Pagupon. Ia telah berkecimpung di dunia teater sejak tahun 1975. Tidak main-main, sebelumnya ia pernah mementaskan Antigone (Sophocles), Brown Sang Dewa Agung (Eugene O’Neill), Ariadne (Hella S. Hasse), Lelakon Raden Beij Soerioretno (F. Wiggers), Boenga Roos dari Tjikembang (adaptasi dari Kwee Tek Hoay) di berbagai tempat, seperti Balai Budaya Majalah Horison, Teater Arena, Teater Kolam FSUI, dan Erasmus Huis Jakarta. Kali ini, ia memutuskan untuk membawakan karya Arifin C. Noer karena naskahnya dianggap menggambarkan manusia Indonesia yang multidimensional. Ia mengatakan bahwa naskah tersebut dapat mengajak penonton untuk menikmati apa saja yang dipikirkan dan dikreasikan oleh dramawan yang menjadi salah satu tonggak kokohnya teater modern Indonesia pada tahun 1970-an. Jika dapat dipoles dengan serius, maka pementasan yang berlangsung selama 3,5 jam ini tentu akan menjadi fenomenal. Latihan yang dilakukan selama 7 bulan kurang tergarap dengan baik sehingga pembawaan pemainnya menjurus ke dragging. Tone yang dibuat hampir sama dan volume vokal sangat terbantu dengan keberadaan jarak kondensor yang dekat ke lantai panggung. Keberadaan pemusik dan penyanyi di atas panggung terasa mubazir karena tidak mendapatkan sorotan lampu sama sekali. Akan tetapi, semangat pemain begitu terasa. Performa dari beberapa pemain (Rizky Septian, Greistina, M. Zulnis Firmansyah) menunjukkan bahwa mereka sangat menghayati lakon, terlihat jam terbangnya lebih banyak dari pemain-pemain lainnya, dan paling penting; tidak terlihat tegang. Musik yang diciptakan khusus untuk pementasan tersebut juga dinyanyikan dengan merdu dan baik. Suara vokalis patut diacungkan jempol. Masyarakat patut diimbau untuk mendukung teater kampus. Keberadaannya bukan mitos dan harus dijadikan sebagai bagian khazanah sastra Indonesia. Sudah banyak teater kampus yang akhirnya bermunculan dan pentas di tempat-tempat seni ternama. Hal yang diperlukan berikutnya adalah apresiasi masyarakat luar kampus terhadap usaha mereka menampilkan yang terbaik.
top of page
Search
bottom of page