28-29 Oktober 2016 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat
Program Indonesia Kita 2016 “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan”
Pentas ke 21
Tema: Cerita Legenda Tionghoa
Judul Pentas: Sri Eng Tay
Jadwal: Jumat – Sabtu, 28 – 29 Oktober 2016 - Pukul 20.00 WIB
Venue: Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta Pusat
Tim Kreatif : Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Bre Redana, Djaduk Ferianto
Tim Artistik: Ong Hari Wahyu
Pemusik: Jakarta Street Music
Pendukung: Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Yu Ningsih, Trio Gam (Gareng, Joned, Wisben),
Henky Solaiman, Hans Huang, Alena Wu, Febrianti Nadira, Flora Simatupang, Fitri Wahab, Vivi Yip, Mira Rompas, Bulgari (Kelompok Wushu Jakarta).
HTM Sri Eng Tay:
PLATINUM Rp. 500.000
VVIP Rp. 300.000
VIP Rp. 200.000
BALKON Rp. 100.000
Informasi & Reservasi Tiket Sri Eng Tay Kayan Production & Communication 0838 9971 5725 / 0856 9342 7788 / 0813 1163 0001
Tahun 2016 Indonesia Kita hadir dalam balutan “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan”. Pentas mendatang merupakan pentas Indonesia Kita ke-21 yang akan mengambil warisan cerita legendaris Tionghoa untuk dipersembahkan kepada publik, dengan judul lakon “Sri Eng Tay”. Warisan Budaya Tionghoa di Indonesia merupakan salah satu bagian penting di dalam perkembangan budaya Indonesia. Berbagai pedoman hidup tentang sikap manusia yang baik dan buruk, tentang tipu muslihat, ambisi dan keserakahan telah diangkat di dalam cerita Tionghoa baik melalui buku maupun film. Masyarakat Indonesia pada umumnya akrab dan menggandrungi cerita Tionghoa, terutama yang mengangkat kisah-kisah para pendekar silat. Hal ini menjadi inspirasi bagi program Indonesia Kita pada pentas ke- 21, untuk merefleksikan warisan budaya Tionghoa menjadi wawasan terhadap berbagai corak perilaku manusia di masa kini. Lakon Sri Eng Tay Lakon Sri Eng Tay adalah sebuah upaya memadukan beragam warisan budaya Tionghoa ke dalam pertunjukan yang bisa merefleksikan persoalan kekinian. Mengisahkan tentang dunia persilatan atau dunia Kang-Ouw yang terinspirasi dari ragam cerita silat sebagaimana dalam karya-karya Kho Ping Ho, Chin Yung, Khu Lung dan lain-lain, yang dipadukan dengan cerita legendaris Sam Pek Eng Tay dan seni bela diri Wushu. Lakon Sri Eng Tay dimulai dengan suasana duka dan gelisah sebuah perguruan silat bernama “Go Bi Pai”, sebuah perguruan silat yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Suasana sedih dan gelisah terjadi karena mendengar kabar munculnya seorang pendekar yang akan membunuh suhu mereka. Ada dendam lama yang muncul kembali dan ingin menuntut balas. Dunia Kang-Ouw semakin gempar. Sebab pendekar itu bukan pendekar sembarangan. Dia dikabarkan telah berhasil merenggut banyak nyawa para pendekar hebat. Seluruh anggota perguruan bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk apabila suhu atau guru besar mereka akhirnya tewas. Bahkan sebelum suhu mereka benar-benar tewas, para murid telah menyiapkan upacara kematiannya. Tentu saja murid-murid juga membicarakan, apabila guru besar mereka tewas, siapa yang akan menjadi penggantinya. Ancang-ancang ini berkembang menjadi suatu perebutan. Intrik dalam perguruan itu pun semakin menggelisahkan, karena sang suhu belum juga mewariskan jurus pamungkas. Sang Suhu menegaskan: jurus pamungkas itu hanya akan diwariskan kepada Eng Tay. Jurus itu memang hanya bisa dimainkan oleh perempuan. Bila dipelajari oleh lelaki, maka lelaki itu akan menjadi “keperempuan-perempuanan”. Persoalannya, Eng Tay sudah lama pergi dari perguruan itu. Tak jelas kemana Eng Tay pergi. Mungkin sedang berguru menuntut ilmu pada guru yang lain. Tapi kabarnya Eng Tay sudah mati terbunuh. Tak jelas kebenarannya. Rupanya semua itu adalah siasat para pendekar untuk menjadi Pendekar Nomor Wahid di dunia persilatan, yang membuat banyak perguruan silat berkumpul dan menghimpun kekuatan masing-masing. Ada perkumpulan bernama Perkumpulan Pendekar Pengemis Sakti, ada Perkumpulan Pendekar Rajawali Mabuk, dan perhimpunan perkumpulan pendekar lainnya. Pada saatnya pendekar yang misterius itu muncul dan pertarungan besar pun terjadi. Siapakah yang memenangkan pertarungan? “Melalui cerita berlatar belakang dunia persilatan ini, sebenarnya kita ingin merefleksikan situasi saat ini, ketika banyak yang dipenuhi ambisi dan hasrat berebut kekuasaan. Melalui cerita silat inilah, sikap kependekaran dan kenegarawanan menjadi sangat relevan,” ujar Agus Noor, penulis cerita dan sutradara pertunjukan Sri Eng Tay ini.
Tentang “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan”
Indonesia Kita pada tahun 2016 akan mengolah tema “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan”. Tidak bisa dipungkiri, Indonesia dilimpahi banyak warisan karya budaya. Sudah pasti, apa yang disebut “warisan” itu tidak hanya sebatas artefak, benda-benda, peninggalan lama, situs, atau hal-hal yang hanya bersifat “fisik”. Apa yang disebut “warisan” itu juga sebuah semangat dan nilai-nilai, yang terus diolah dan dikembangkan oleh para pelaku kesenian dan kebudayaan.
Kekayaan warisan seperti candi-candi, lontar, karya-karya yang telah menjadi adiluhung, sampai keragaman corat kerajinan, tarian dan bentuk ekspresi kesenian lainnya, adalah sebuah anugerah tak ternilai. Anugerah itu sekaligus juga menjadi tantangan, karena bila ia hanya diterima sebagai warisan yang statis, maka warisan itu bisa kehilangan kemampuannya merefleksikan persoalan kemanusiaan, dan berhenti sebagai klangenan atau sesuatu yang bersifat romantis. Karena itu “warisan mesti bisa menjadi wawasan”; menjadi sesuatu yang terus menerus membuka horison imajinasi dan peluang-peluang penciptaan.
Kebudayaan akan menjadi inspirasi bila ia membuka wawasan bagi masyarakat pendukungnya. Dan sebuah wawasan yang baik, selalu tumbuh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, itulah kontinuitas kebudayaan. Dalam konteks itulah, “warisan dan wawasan” menjadi sesuatu yang menyatu, dua keping dari satu mata uang, tak terpisahkan. Tentang Indonesia Kita
Indonesia Kita mulai menggelar pertunjukan sejak tahun 2011, dan sejak itulah pentas-pentas yang diadakan menjadi “laboratorium kreatif” bagi berbagai seniman, baik lintas bidang, lintas kultural dan lintas generasi. Dari satu pentas ke pentas lainnya, pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah ikhtiar untuk semakin memahami bagaimana proses “menjadi Indonesia”.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah sebuah “proses menjadi”, yakni sebuah proses yang terus menerus diupayakan, proses yang tak pernah selesai, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu menjadi 'sebuah bangsa yang berkebudayaan’.
Indonesia Kita telah menjadi sebuah forum seni budaya yang bersifat terbuka, yang mempercayai jalan seni dan kebudayaan sebagai jalan yang sangat penting untuk mendukung 'proses menjadi Indonesia” itu. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan, maka merawat semangat ke-Indonesia-an menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus diupayakan.
Indonesia Kita yang secara berkala dan rutin diselenggarkan, pada akhirnya telah mampu meyakinkan penonton untuk melakukan apa yang seringkali disebut oleh Butet Kartaredjasa, sebagai “ibadah kebudayaan” yakni semangat untuk bersama-sama mendukung dan mengapresiasi karya seni budaya. Pentas-pentas Indonesia Kita mendapat apresiasi yang baik, tanggapan positif, dan mampu menjadi ruang interaksi tidak hanya antara seniman dan masyarakat penonton, melainkan juga antara penonton dan penonton. Sebuah komunitas kultural terbentuk, di mana penonton kemudian menghadiri pentas-pentas Indonesia Kita, sebagai wujud dari “ibadah kebudayaan”.
Jangan Kapok Menjadi Indonesia. Terima Kasih.