Indonesia Kita kembali mempersembahkan kepada publik, 28 dan 29 Oktober 2016 di Graha Bhakti Budaya Jakarta, sebuah pentas kali ini dengan nuansa budaya Tionghoa. Masih dalam kesatuan program “Heritage of Indonesia: Dari Warisan Menjadi Wawasan” cerita yang disampaikan jenaka ini didukung oleh Henky Solaiman, Hans Huang, Alena Wu, Febrianti Nadira, Flora Simatupang, Fitri Wahab, Vivi Yip, Mira Rompas, Nadya Permata, Bulgari (Kelompok Wushu Jakarta) dan Jakarta Street Music. Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Yu Ningsih, Trio Gam (Gareng, Joned, Wisben) menjadi tokoh-tokoh sentral yang menjalin cerita mengenai perebutan kekuasaan di dunia persilatan. Menjadi Orang Nomor Satu rupanya adalah sebuah nafsu kronis yang sudah merasuki tokoh-tokoh masyarakat sejak dahulu, yang digambarkan sebagai perguruan silat dengan intrik-intrik diantara sesama murid maupun antar pimpinan perguruan. Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Bre Redana, dan Djaduk Ferianto yang menjadi tim kreatif produksi ke 21 ini meramu cerita secara jenaka tetapi jelas menyiratkan situasi politik terkini, terutama menjelang Pilkada Jakarta. Nuansa Tionghoa yang ditegaskan sebagai bagian dari budaya yang tergores dalam sejarah panjang Indonesia seolah mengingatkan bahwa dalam kala tertentu etnis Tionghoa seringkali dipinggirkan secara politis, tidak diakui sebagai bagian dari elemen kebangsaan. Gelak tawa penonton sepanjang pertunjukan juga seolah menjadi gelak tawa rakyat yang secara langsung mengamati tingkah polah tokoh-tokoh negeri ini, bagaimana intrik-intrik dalam suksesi kekuasaan seringkali terlihat konyol, kekanak-kanakkan tetapi melibatkan kemampuan (ilmu kanuragan) dan rekayasa tingkat tinggi. Jurus-jurus maut menjadi senjata pamungkas dalam memuaskan nafsu kekuasaan. Bagaimana kemudian cerita ini ditampilkan dalam gerak, tata panggung, tata cahaya, tata busana dan akting pemain? Tim Seputar Event berusaha mengabadikannya dalam foto-foto liputan berikut ini :-)