Sejak 2011, Indonesia Kita telah menggelar 28 pentas dalam berbagai judul lakon. Perjalanan Indonesia Kita yang berproses terus menerus selama delapan tahun terakhir, telah menarik perhatian institusi pendidikan untuk melibatkan para akademisi terlibat langsung di dalam proses kreatif pertunjukan Indonesia Kita. Perhatian tersebut datang dari Fakultas Seni Pertunjukan Institut Kesenian Jakarta (FSP IKJ), yang menyatakan ingin bekerja bersama dalam proses produksi bersama Indonesia Kita dan kemudian disambut baik oleh Butet Kartaredjasa. Ini yang membuat panggung Indonesia Kita berbeda dalam mementaskan pertunjukan ke-29.
Bermula dari keinginan Dekan FSP IKJ, Lusiati Kusumaningdiah yang ingin menghadirkan suatu pertunjukan bersama antara dosen dan mahasiswa dari berbagai program studi di fakultas seni pertunjukan menjelang 50 tahun IKJ pada 2020 mendatang. Lusiati mengatakan, “Indonesia Kita sudah berpengalaman dalam mementaskan berbagai pertunjukan dan mampu menggalang penonton. Bagi kami ini merupakan hal positif. Kami ingin mahasiswa FSP IKJ memahami dan melakukan kerja profesional di bidang kesenian, karena selama saya kuliah di IKJ sejak 1984 sampai saat ini, belum pernah terjadi pertunjukan yang mengatasnamakan fakultas.”
Senada dengan itu, Dosen senior FSP IKJ, Gandung Bondowoso yang dalam kolaborasi ini bertindak sebagai Tim Kreatif menyatakan, “Kolaborasi mahasiswa, alumni dan Dosen Fakultas Seni Pertunjukan IKJ dengan pemain profesional Indonesia Kita adalah sebuah kesempatan baru dalam hal kerja sama. Melalui momen bekerja sama ini, para mahasiwa akan mendapatkan berbagai pengalaman dan wahana baru, khususnya berteater di luar mazhab realis. Mahasiswa perlu tahu bahwa di luar pakem realis itu ada jenis-jenis mazhab teater yang lain”.
Butet Kartaredjasa selaku Tim Kreatif Indonesia Kita menyatakan, “Ajakan berproses bersama FSP IKJ merupakan suatu kehormatan bagi Indonesia Kita. Apa yang menjadi semangat kami untuk menjadikan Indonesia Kita sebagai laboratorium kreatif semakin bervariasi. Kerja bersama institusi pendidikan akan menjadi berbeda dalam pentas Indonesia Kita ke-29 ini di mana Indonesia Kita dapat dilihat dari sudut pandang akademis”.
Lakon BRIGADE ORGIL
Brigade Orgil adalah kisah yang terjadi di sebuah negeri, bernama Negeri Gilabeh. Di negeri itu sedang terjadi wabah yang aneh dan mencemaskan. Semua orang seperti terserang kegilaan. Lalu mereka teringat sebuah ramalan, bahwa pada suatu hari akan datang wabah aneh yang membuat semua orang menjadi kehilangan kewarasan.
Wabah aneh itu memuncak ketika tak seorang pun mau menjadi pejabat atau pemimpin dan Negeri Gilabeh terancam vakum. Bagaimana tidak khawatir akan kevakuman, apabila yang terjadi ketika dilakukan pemilihan umum, yang menang justru kotak kosong? Bagaimana pun Negeri Gilabeh tak boleh bubar. Untuk itu pemilihan umum harus diulang. Harus ada yang maju menjadi pemimpin. Namun sayangnya, tak ada yang mau. Semua kader partai mundur teratur. Menjadi pemimpin adalah beban dan kutukan, bisa-bisa nasib mereka berakhir di penjara. Lalu dengan siasat yang rapi, mendadak ditetapkan satu orang yang dipaksa untuk maju jadi pemimpin. Sejarah orang ini misterius. Tiba-tiba saja dipilih menjadi pemimpin. Baru belakangan diketahui, orang ini adalah orang gila yang kabur dari rumah sakit.
Di tengah kegilaan, maka orang gila menjadi tidak nampak gila. Bahkan sebaliknya, di tengah wabah kegilaan, orang yang tak gila justru terlihat gila. Pemimpin Baru lahir di Negeri Gilabeh dengan pemikiran dan ide-ide cemerlang. Ide dan gagasanya memang terkesan gila, tetapi justru masuk akal dan bisa diterima semua orang. Keputusan-keputusan ganjil justru terasa masuk akal.
Para politisi bersaing menggunakan bermacam kegilaan untuk mencapai tujuan. Mereka mengorganisir orang-orang dan membentuk kekuatan barisan. Setiap anggotanya harus menjadi gila lebih dulu. Harus dites dan diuji kadar kegilaannya. Syarat menjadi anggota yang baik adalah lulus ujian kegilaan dan mendapatkan sertifikat dan kartu anggota Brigade Orgil.
Brigade Orgil merupakan lakon kocak penuh ironi yang menggambarkan sebuah zaman ketika yang gila dan tidak gila telah sulit dibedakan.
Program Indonesia Kita 2018 Budaya Pop: Dari Lampau Ke Zaman Now
Pentas ke : 29 Judul Pentas: Brigade Orgil Jadwal: 3 kali pentas
Jumat, 10 Agustus 2018 - Pukul 20.00 WIB
Sabtu, 11 Agustus 2018 - Pukul 14.00 WIB dan Pukul 20.00 WIB
Venue : Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jl. Cikini Raya 73, Jakarta.
Tim Kreatif: Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto & Gandung Bondowoso Naskah & Sutradara: Agus Noor Pengatur Laku: Joseph GintingS Penata Musik: Jalu Pratidina & Anusirwan Penata Tari: Hanny Herlina Pemusik & Penari : FSP Institut Kesenian Jakarta. Artistik: Ong Hari Wahyu Pendukung: Cak Lontong, Akbar, Marwoto, Mucle Katulistiwa, Nungki Kusumastuti, Inayah Wahid, Nyak Ina Raseuki (Ubiet), Bedu, Ence Bagus, Bowo GP, Joseph GintingS dan Mahasiswa FSP IKJ.
HTM Brigade Orgil: PLATINUM: Rp. 750.000 VVIP: Rp. 500.000 VIP: Rp. 300.000 BALKON: Rp. 150.000
Reservasi Tiket: www.kayan.co.id www.blibli.com
Informasi: Kayan Production & Communications 0856-9342-7788 / 0895-3720-14902 / 0813-1163-0001
Budaya Pop: Dari Lampau Ke Zaman Now
Kebudayaan, dengan seluruh hasil karya ciptanya, sesungguhnya sebuah proses penciptaan yang terus-menerus berlangsung, mengikuti pola pikir masyarakatnya. Di setiap era, selalu muncul tafsir, bentuk, ungkapan, bahkan ekspresi-ekspresi baru, yang tak bisa dilepaskan dari proses mengolah kebudayaan yang diwariskan sebelumnya.
Demikian pula dengan karya seni, yang terus menerus diciptakan dengan mengolah dan menafsir karya-karya lama, dengan gaya dan tren yang mengikuti zamannya. Seni selalu membuka dan memberi ruang untuk kreativitas, sehingga masyarakat dapat berekspresi untuk merayakan perubahan. Budaya pop (pop culture) sering dilihat sebagai ekspresi yang menandai perubahan itu.
Kesenian yang tumbuh di wilayah budaya pop, seringkali dengan caranya yang unik memperlihatkan proses kreativitas sebuah generasi dalam hal menanggapi perubahan zaman, sekaligus kehendak untuk mengolah tradisi agar terus relevan dengan situasi zaman. Budaya pop, pada akhirnya dapat menandai penciptaan kembali atas apa yang sudah lampau, sehingga tetap punya daya pesona yang memikat.
Proses seperti itu, dengan sendirinya sejalan dengan identitas bahasa, di mana setiap generasi bisa mengekspresikan kecenderungan-kecenderungannya sendiri, dengan bahasa dan gaya sendiri. Budaya pop adalah suara zaman yang menandai kegelisahan dan pencarian. Budaya pop tak hanya soal mengemas ide menjadi lebih populer, tetapi juga sebuah cara sebuah generasi mengidentifikasi diri dan persoalan zamannya.
Tentang Indonesia Kita
Indonesia Kita mulai menggelar pertunjukan sejak tahun 2011, dan sejak itulah pentas-pentas yang diadakan menjadi “laboratorium kreatif” bagi berbagai seniman, baik lintas bidang, lintas kultural dan lintas generasi. Dari satu pentas ke pentas lainnya, pada akhirnya mengkristal menjadi sebuah ikhtiar untuk semakin memahami bagaimana proses “menjadi Indonesia”.
Sebagai sebuah bangsa, Indonesia adalah sebuah “proses menjadi”, yakni sebuah proses yang terus menerus diupayakan, proses yang tak pernah selesai, untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu menjadi 'sebuah bangsa yang berkebudayaan’.
Indonesia Kita telah menjadi sebuah forum seni budaya yang bersifat terbuka, yang mempercayai jalan seni dan kebudayaan sebagai jalan yang sangat penting untuk mendukung 'proses menjadi Indonesia” itu. Terlebih-lebih ketika Indonesia hari ini seperti rentan dan penuh berbagai persoalan, maka merawat semangat ke-Indonesia-an menjadi sesuatu yang harus secara terus-menerus diupayakan.
Indonesia Kita yang secara berkala dan rutin diselenggarakan, pada akhirnya telah mampu meyakinkan penonton untuk melakukan apa yang seringkali disebut oleh Butet Kartaredjasa, sebagai “ibadah kebudayaan” yakni semangat untuk bersama-sama mendukung dan mengapresiasi karya seni budaya. Pentas-pentas Indonesia Kita mendapat apresiasi yang baik, tanggapan positif, dan mampu menjadi ruang interaksi tidak hanya antara seniman dan masyarakat penonton, melainkan juga antara penonton dan penonton. Sebuah komunitas kultural terbentuk, di mana penonton kemudian menghadiri pentas-pentas Indonesia Kita, sebagai wujud dari “ibadah kebudayaan”.
Jangan Kapok Menjadi Indonesia.
Terima Kasih.