Sebuah album yang menjadi salah satu bukti sejarah musik rock kontemporer tanah air.
Jakarta – 17 Maret 2017. Akhirnya setelah 44 Tahun Album Philosophy Gang
milik Album Gang of Harry Roesli dirilis untuk pertama kalinya.
Album ini pun pernah masuk dalam 150 Album Terbaik Indonesia Sepanjang Masa versi Rolling Stone Indonesia tahun 2007. Lagu “Malaria” sendiri juga pernah masuk dalam 150 Lagu Terbaik Indonesia Sepanjang Masa versi Majalah Rolling Stone Indonesia Sepanjang Masa di tahun 2009.
Sedangkan nama Harry Roesli sendiri masuk dalam Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa versi Majalah Rolling Stone Indonesia di tahun 2008.
Album Philosophy Gang milik Gang of Harry Roesli pertama kali dirilis oleh Lion Records, label dari Singapura, pada tahun 1973 tapi ternyata tidak dijual secara umum, karena masalah pajak dan lain sebagainya.
Jadi boleh dibilang ini adalah kali pertamanya album perdana Gang of Harry
Roesli mini dirilis secara massal.
Personil yang masih tersisa adalah Indra Rivai dan Hari Krishnadi, atau yang dikenal dengan nama Harry Pochang.
Adalah La Munai Records, sebuah label rekaman asal Jakarta yang kini mencetak ulang album ini dalam format piringan hitam atau vinyl.
Album Philosophy Gang milik Gang of Harry Roesli ini dirilis dalam format piringan hitam 12 inci dengan cover gatefold dengan penambahan insert berisi foto-foto Gang of Harry Roesli, liner notes dari Harry Dim, sahabat karib almarhum Harry Roesli, serta lirik lagu-lagu dari album tersebut.
Semoga album ini menjadi bukti sejarah penting dalam perkembangan musik di Indonesia.
Sekilas tentang Harry Roesli
Harry Roesli yang memiliki nama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin
Roesli, (lahir di Bandung, 10 September 1951 – meninggal di Jakarta, 11
Desember 2004 pada umur 53 tahun) adalah tokoh dikenal melahirkan budaya musik kontemporer yang berbeda, komunikatif dan konsisten memancarkan kritik sosial.
Karya-karyanya konsisten memunculkan kritik sosial secara lugas dalam watak musik teater lenong. Harry berpenampilan khas, berkumis, bercambang, berjanggut lebat, berambut gondrong dan berpakaian serba hitam.
Harry Roesli yang berdarah Minangkabau ini, merupakan cucu pujangga besar Marah Roesli. Anak bungsu dari empat bersaudara, ayahnya bernama Mayjen (pur) Roeshan Roesli. Istri Harry Roesli bernama Kania Perdani Handiman dan dua anak kembarnya bernama Layala Khrisna Patria dan Lahami Khrisna Parana.
Di awal 1970-an, saat belajar di Institut Teknologi Bandung, ia juga belajar musik kepada beberapa orang, salah satunya adalah Remy Sylado dan Slamet Abdul Sjukur.
Di tahun itu pula, namanya sudah mulai melambung. Saat membentuk kelompok musik Gang of Harry Roesli bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Harry Krishnadi atau Harry Pochang. Awalnya mereka bermain rock dan
blues, lalu banting setir ke musik yang lebih akustik dengan lirik yang bernuansa kritis.
Tak berumur lama, lima tahun kemudian setelah album Gang of Harry Roesli dirilis, pada tahun 1975 kelompok musik ini bubar.
Di tengah kesibukannya bermain band, dia pun mendirikan kelompok teater Ken Arok, 1973. Setelah melakukan beberapa kali pementasan, antara lain, Opera Ken Arok di TIM Jakarta pada Agustus 1975, grup teater ini kemudian bubar, karena Harry mendapat beasiswa dari Ministerie Cultuur, Recreatie
en Maatschapelijk Werk (CRM), belajar ke Rotterdam Conservatorium,
Belanda.
Selama belajar di negeri kincir angin itu, Harry juga aktif bermain piano di restoran-restoran Indonesia dan main band dengan anak-anak keturunan Ambon di sana. Selain untuk menyalurkan talenta musiknya sekaligus untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya yang tidak mencukupi dari beasiswa.
Gelar Doktor Musik diraihnya pada tahun 1981, kemudian selain tetap berkreasi melahirkan karya-karya musik dan teater, juga aktif mengajar di Jurusan Seni Musik di beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung dan Universitas Pasundan Bandung.
Sekembalinya dari Bandung, Harry Roesli mulai mendalami musik avant garde dari pengaruh musisi seperti Iannis Xenakis, John Cage, dan Karlheinz Stockhausen.
Tahun 1982, ia pernah berkolaborasi dengan sutradara Putu Wijaya, mereka pernah tampil bersama dalam serangkaian penampilan. Tak hanya Putu Wijaya, Harry Roesli juga pernah berkolaborasi dengan nama-nama Nano Riantiarno dari Teater Koma.
Selain kerap membuat aransemen musik untuk teater dari Teater Mandiri dan Teater Koma, Harry Roesli juga menjadi pembicara dalam seminar- seminar di berbagai kota di Indonesia dan luar negeri, serta aktif menulis di berbagai media, salah satunya sebagai kolumnis Kompas Minggu.
Selain itu juga membina para seniman jalanan dan kaum pemulung di Bandung lewat Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya. Rumahnya di Jl WR Supratman 57 Bandung dijadikan markas DKSB. Rumah inilah yang pada tahun 1998 menjadi pusat aktivitas relawan Suara Ibu Peduli di Bandung.
Rumah ini ramai dengan kegiatan para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Dimana kerap lahir karya-karya yang
sarat kritik sosial dan bahkan bernuansa pemberontakan terhadap kekuasaan Orde Baru.
Bersama DKSB dan Komite Mahasiswa Unpar, Harry Roesli mementaskan pemutaran perdana film dokumenter Tragedi Trisakti dan panggung seni dalam acara "Gelora Reformasi" di Universitas Parahyangan. Dalam acara ini kembali dinyanyikan lagu “Jangan Menangis Indonesia” dari album LTO
(Lima Tahun Oposisi), Musica Studio, 1978.
Harry meninggal dunia hari Sabtu 11 Desember 2004, pukul 19.55 di RS Harapan Kita, Jakarta.
Sekilas tentang La Munai Records
La Mulai Records adalah label asal Jakarta. Berdiri sejak tahun 2016, label
ini sudah memiliki 2 rilisan rekaman. Rilisan pertamanya adalah sebuah mini album dalam format kaset milik kelompok musik Bangkutaman berjudul Rileks.
Rilisan kedua berisi kompilasi bertajuk Fairytales of Megabiodiversity, yang berisi kelompok musik psikadelik/indie rock dari Jakarta dan Bandung.
Philosophy Gang milik Gang of Harry Roesli menjadi rilisan pertama dalam format piringan hitam dari La Munai Records.
Info kontak media: Aldila Karina
0856 9125 2005 lamunairecords@gmail.com