Lakon kocak dan penuh satir khas Teater Gandrik yang diproduseri Butet Kertarajasa, ditulis oleh Agus Noor dan disutradarai oleh G. Djaduk Ferianto terasa spesial. Dibentuk sejak 34 tahun lalu di Yogyakarta, sebagai bagian dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Teater Gandrik sempat vakum selama 2 (dua) tahun dari pementasan sebelumnya yaitu “TANGIS” pada tahun 2015.
Pagelaran yang bertajuk “HAKIM SARMIN” terasa spesial bukan saja karena menyisipkan dialog dalam bentuk lantunan-lantunan lagu, namun karena isu yang dibawakan begitu kontekstual. Pementasan ini digelar pada 29-30 Maret di Taman Budaya Yogyakarta dan pada 5-6 April di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “...ketika keadilan dan kegilaan sulit dibedakan, yang salah dibenarkan yang benar disalahkan as...sem to?! Begitu pula pasal-pasal hukum yang sejak awal diniatkan menegakkan keadilan, kita tahu seringnya diperjualbelikan! Aparat hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim, hari ini hobinya kayak balita, seneng disuapin...” Ujar Butet Kertarajasa dalam prolognya.
Dengan latar belakang suasana yang ganjil, ketika semua hakim berbuat nekat memilih masuk rumah sakit jiwa yang disebut Pusat Rehabilitasi Hakim. Para hakim yang menolak masuk Pusat Rehabilitasi, dikabarkan mati terbunuh. Isu pembersihan hakim-hakim pun menebarkan kecemasan. Hakim Sarmin (diperankan oleh Butet Kertarajasa) adalah salah satu hakim yang memilih masuk ke dalam tempat rehabilitasi, yang dianggap gila karena keputusannya membebaskan seorang koruptor.
Lakon ini mengisahkan sebuah zaman, ketika keadilan dan kegilaan tak lagi bisa dibedakan. “Kegilaan dimulai dari pikiran. Revolusi selalu diawali oleh mereka yang gila. Inilah zaman ketika kegilaan sudah menjadi trend. Kalau tidak gila malah dianggap jadul, kurang gaul,” kata Hakim Sarmin.
Pimpinan Pusat Rehabilitasi, dr. Menawi Diparani (diperankan oleh Susilo Nugroho) mengatakan telah terjadi wabah kegilaan yang berbahaya karena sulit dikenali gejala-gejalanya. “Kegilaan dengan cepat menjalar, lebih menakutkan dari wabah sampar,” ujarnya.
Kepentingan politik, ambisi kekuasaan, siasat licik untuk saling menjatuhkan, semakin membuat ketegangan di antara para tokoh dalam lakon ini. Hakim Sarmin bersama para hakim yang berpura-pura gila melakukan rapat di dalam Pusat Rehabilitasi Hakim dan merencanakan pemberontakan terhadap penguasa dengan membuat krisis hakim. Dalam rapat tersebut Hakim Sarmin berorasi “Kita hidup di tengah masyarakat yang kekurangan akal sehat. Kebenaran tergantung kepentingan dan keadaan. Revolusi mental tanpa revolusi hukum adalah omong kosong...” ujar Hakim Sarmin disusul dengan tepuk tangan riuh dari barisan kursi penonton.
“Tahi... tahi... tahi...” terdengar teriakan kecil Hakim Prihatin (diperankan oleh Cilik Tri Bunowati) dari ujung panggung seperti melecehkan isi orasi Hakim Sarmin, yang membuat penonton tertawa kegelian. Teriakan tersebut bukanlah melecehkan melainkan Hakim Prihatin berpura-pura gila dengan memegang tahi-nya sendiri. Gerakan “Revolusi Keadilan” Hakim Sarmin pun mulai dijalankan, banyak dari para hakim, pengacara, bahkan dr. Menawi Diparani pemimpin dari Pusat Rehabilitasi pun tak mampu mengendalikan gerakan tersebut.
Pementasan ini padat konflik dan dan humor satir. Sebagai contoh adalah ketika Hakim Sarmin diminta kesediaan untuk uji kejujuran oleh dr. Menawi dengan pertanyaan “Kenapa kamu membebaskan pejabat korup itu Hakim Sarmin, kenapa tidak kau hukum mati saja, atau dimiskinkan saja?” tanya dr. Menawi. “Menghukum mati koruptor sama saja dengan melepaskannya dari tanggung jawab, dokteeeer. Sedangkan memiskinkan koruptor itu bertentangan dengan konstitusi negara. Dalam undang-undang diatur bahwa fakir miskin dan anak terlantar adalah tanggung jawab negara. Kalo koruptor miskin dan anak-anaknya terlantar maka itu juga akan menjadi tanggung jawab negara, itu akan membebani anggaran negara...,”seketika penonton tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Hakim Sarmin.
“...lagi pula itu tidak sejalan dengan program pemerintah yang ingin mengurangi jumlah angka orang miskin. Bagaimana mungkin ingin mengurangi jumlah orang miskin kok malah menambahi jumlah orang miskin dengan memiskinkan koruptor? Mikiiiirr..., mikiiir pak dokteeer!” lanjut Hakim Sarmin, yang seketika membuat penonton semakin tertawa kegelian dan bertepuk tangan.
Lakon "Hakim Sarmin" mengingatkan kita pada kisah Hakim Sarpin yang pada saat itu membebaskan seorang pejabat kepolisian dari kasus "rekening gendut". Mengadopsi cerita tersebut atau tidak bukanlah hal utama, namun pelajaran yang bisa kita ambil adalah bagaimana kita dapat menjaga kewarasan kita di tengah kegilaan dan kisruh politik yang terjadi belakangan ini. Suasana panas pilkada yang mengorbankan kehormatan dan keimanan, hanya demi sebuah kepentingan.
Kewarasan dan akal sehat tentu menjadi hal yang harus selalu kita jaga. Rakyat yang waras adalah harapan bangsa karena sumber daya alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati serta kekayaan kebudayaan sudah lama diabaikan. Mengutip kata-kata Hakim Sarmin, "demi bangsa dan negara!"